Sungjin memang tidak tahu pasti, namun gadis itu pada akhirnya datang kembali. Tanpa perlu menunggu, ia juga telah berjongkok lebih dahulu untuk menyamakan tinggi tubuh si pemuda yang tengah terdiam duduk di lantai dekat ranjang.
Gadis itu menggengam erat sekitar tiga buah map saat suara lembutnya mengudara, "Kamu terluka lagi?" Dan Sungjin hanya tetap diam tanpa ingin melakukan lebih.
Seolah sudah terbiasa, gadis berambut gelombang tersebut lantas berangsur memajukan langkah, berusaha menggapai lengan kanan Sungjin yang tengah mengeluarkan cukup banyak noda berwarna pekat. "Tenang, aku hanya akan mengobatinya, tahan sebentar," kata Nala—nama yang setidaknya dapat Sungjin baca sekilas melalui jahitan huruf pada pakaian putihnya.
"Jangan melakukan hal ini lagi. Nanti kamu akan terus terluka dan susah untuk pulang."
Sungjin terus memperhatikan bagaimana jemari Nala bergerak telaten membersihkan noda kemerahan di sana, memastikan bahwa kulit pemuda itu benar-benar bersih sebelum eksistensi sebuah plester beserta kain kasa terlilit sempurna.
Sementara si pemuda masih mengambil peran sebagai pendengar terbaik tanpa mau ambil pusing untuk ikut meladeni. Lagipula, fokus yang ia miliki dalam ruangan persegi membosankan ini hanya terdapat pada satu titik, yakni pintu besi. Jadi bukan tidak mungkin, jika sejak kehadiran Nala kemari merupakan hal kesekian yang membuat Sungjin merasa adiktif.
Ia nampak ikut bergerak mawas sewaktu tubuh Nala sudah menunjukkan tanda-tanda ingin berdiri, membereskan segala kekacauan yang terjadi di sekitar sini.
"Omong-omong, dari mana kamu mendapatkan benda ini?" Nala menoleh, langsung menghadap wajah tegas milik si lawan bicara, berucap begitu tenang selagi pemuda itu membalas tatapan dengan cara yang tidak biasa.
Keheningan seakan menjadi kawan paling mutlak, sampai waktu di mana Sungjin memutuskan untuk mengalihkan pandangan ke arah sebuah objek dalam kukungan jemari milik Nala. Lebih tepatnya, mengamati benda mengilat tipis yang menjadi penyebab atas kunjungan serba tiba-tiba sekarang.
"Jatuh dari sana," sahut Sungjin setengah menggumam, mengarahkan satu telunjuk pada saku kiri, tempat di mana Nala tengah meletakkan benda tajam itu tadi.
Ada hela napas panjang yang hadir, kemudian disusul oleh seulas senyum tipis melalui ranum kemerahan si gadis.
Merasa bahwa segala kata dalam benak sudah dapat tersampaikan, maka Nala memutuskan untuk berbalik dari hadapan pemuda bermanik tajam itu, menyentuh gagang pintu besi sebelum berucap kelewat pelan, "Sampai bertemu besok."
Tepat di mana pintu hampir tertutup sempurna, Sungjin malah baru tersadar bahwa inilah kali pertama dalam seumur hidup saat otot wajahnya mendadak berfungsi tanpa bisa dicegah.
Betul, suara besi ringan yang sengaja dijatuhkan ke ubin memang terdengar begitu merdu; salah satu hal yang selalu Sungjin tunggu sejak minggu di mana Nala pertama kali berkunjung.
Ia jadi teringat perkataan seorang gadis gila dari kamar sebelah: jikalau keduanya berusaha dengan cara paling kotor sekali pun agar dapat memuaskan hasrat bertemu cinta, maka itulah hal yang dunia katakan benar.
Batin Sungjin tertawa, mengingat tugas yang ia lakoni memang cenderung sangat mudah. Tentu, menyayat diri bukanlah suatu perkara besar bagi seseorang sepertinya.
"Sampai bertemu besok, Suster."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epoch ✔
FanfictionBerbagai macam periode tertentu dalam hidup segelintir manusia.