Hari ini suara bising jemari yang beradu di atas keyboard sudah teredam, tergantikan oleh jeritan beserta isak tangis dari arah kamar mandi pria di lantai dua.
"Tolong bantu saya membawa badan beliau." Salah seorang lelaki berkemeja biru menepuk pundak Jaehyung yang masih bergeming di bibir pintu.
Namun kala didapati si empunya nama masih diam di tempat semula, maka suara berat itu pun kembali terdengar dengan intonasi meninggi, "Bisakah Anda membantu saya dan melakukan hal yang berguna?!"
Setelah membawa tubuh lelaki berjas tersebut ke dalam kendaraan beroda empat milik rumah sakit terdekat, beberapa karyawan tersisa diarahkan untuk kembali memasuki kantor dan menenangkan diri. Sedang di pintu masuk utama, Jaehyung berdecih.
Ia ingin pulang sesegera mungkin. Perut serasa mual jika ia terus berdiam diri, mendengar sedu sedan orang-orang akibat kejadian tadi.
Meski tiada tempat pemberhentian paling baik, namun melebihi apapun—Jaehyung ingin pergi. Ia hanya terlampau muak pada hal semacam ini.
"Saya tidak menyangka, padahal beliau orang baik." Jaehyung menoleh ke belakang, menangkap dua tubuh wanita berpakaian rapi tengah berbincang di dekat meja informasi.
"Beliau merupakan motivasi saya untuk terus bisa bekerja di bawah tekanan," ujar wanita lain berambut hitam sembari menghela napas panjang, "siapa sangka, bahwa beliau akan pergi dengan cara paling tak wajar?"
"Bisakah Anda diam?"
Jaehyung mengambil langkah maju, menatap bergantian pada raut muka kedua wanita tersebut yang perlahan berubah.
"Daripada membicarakan berbagai cara manusia berhati mulai untuk mati, bukankah lebih baik jika kalian menutup mulut dan berkaca lebih sering?" tukas Jaehyung penuh penekanan, mengarahkan telunjuk pada masing-masing wajah di hadapan tanpa ragu dan melanjutkan, "siapa yang tahu, bahkan orang baik seperti beliau saja mati secara mengenaskan."
Tak perlu ada alasan, tak juga perlu ada pembelaan apabila itu berkaitan erat dengan cara mengembalikan sinar hidup milik Jaehyung seorang.
Bahkan jikalau ada masa di mana si pemuda dihadapkan pada satu pilihan antara membuka lembaran baru, atau melanjutkan keterpurukan, maka Jaehyung akan tetap menjawab: "aku butuh waktu untuk berputar ulang."
Jemari panjang si pemuda membeku di atas meja. Baru saja teringat, jika tubuhnya belum terasupi sama sekali. Jadi Jaehyung hanya bisa meneggelamkan setengah kepala, berusaha meredam nyeri pada area perut.
"Kukira kau sudah terbiasa dengan secangkir teh hangat. Ternyata belum, ya?"
Jauh daripada apa yang pernah ia pikirkan, Jaehyung kira, berdamai dengan diri sendiri memang semudah menghapalkan jalan menuju kantor untuk kali pertama. Ternyata, tidak.
Perlahan ia mulai beranjak, meninggalkan layar persegi tersebut dalam keadaan menyala. Kemudian disusul oleh kedua kaki yang berbelok menuju balkon—tempat pelarian terakhir yang tersisa.
Jaehyung terduduk di atas ubin, mengabaikan rasa dingin. Sedang satu tangan kosong ia gunakan untuk memainkan sebuah pemantik berwarna putih.
"Aku tidak akan merokok, Rae. Tidak perlu cemas," guman Jaehyung, masih terus bermain dengan api kecil dari pemantik tersebut tanpa henti.
"Rae, hari ini Tuhan ingin aku semakin mengingat kamu." Jaehyung menengadahkan wajah, menyandarkan punggung pada dinding seraya berucap pelan, "Tadi siang, Direktur Kim gantung diri."
Keheningan terisi oleh suara kendaraan yang berlalu-lalang dari jalanan. Sementara Jaehyung perlu waktu beberapa menit sampai katup tebalnya siap mengeluarkan suara. "Mereka bilang, beliau merupakan salah satu orang baik yang memilih mati dengan cara paling tak wajar. Dan aku tak setuju."
Jaehyung menengadahkan wajah, mendapati eksistensi seutas tali yang dipotong asal pada langit-langit balkon rumah.
"Karena mereka tentu memiliki alasan kuat tersendiri untuk pergi. Demikian juga kamu tiga tahun lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epoch ✔
FanfictionBerbagai macam periode tertentu dalam hidup segelintir manusia.