Satu kaki yang sengaja ditenggekan pada papan kayu, otomatis kembali menapak tanah kala mendengar sebuah umpatan kecil dari sebelah kanan jalan.
"Sial, ke mana ponselku?" tanya si gadis geram, sedang kedua tangan terus sibuk untuk mengaduk isi tas jinjing putih yang kini pun menjadi pusat perhatian si pemuda.
Dalam hati, Dowoon merasa ini lucu. Menurut ia, semua orang berhak untuk marah. Terlampau wajar malah. Bahkan hingga pada titik di mana mereka ingin meluapkannya melalui kata-kata gila.
Jadi sewaktu gadis berkuncir kuda itu telah menangkap presensinya, berlanjut pada tahap stagnan di mana ia berusaha merapalkan permohonan maaf dengan suara bergetar, seulas senyum milik Dowoon tak bisa lagi diurungkan.
"Oh, apa Anda ingin mencuci baju hari ini?"
Dowoon mengikuti ke arah mana si gadis mencuri atensi. Maka segeralah ia membawa kantung hitam besar di sebelah tubuhnya dalam satu sentak dan membalas, "Iya."
Banyak orang berkata, bahwa atmosfer baik dapat membuat seseorang menjadi dekat. Mungkin hal tersebutlah yang gadis bernama Jian itu rasakan sekarang. Karena semenjak gembok pintu depan sudah dibuka, tiada henti Jian akan menjadi orang pertama yang membangun konversasi baru walau terdengar cukup kaku.
"Apa ini hari pertamamu bekerja?"
Atusias, Jian menjawab, "Iya! Aku pekerja paruh waktu yang menggantikan Bibi pemilik penatu* ini dari pagi sampai siang."
Ada sedikit embusan napas lega dari ranum Jian setelah berhasil memasukkan beberapa pakaian ke dalam mesin cuci milik pelanggan yang datang barusan.
"Wajahku pasti terlihat asing, ya?" Jian tertawa sebentar, berjalan menuju bangku panjang untuk duduk bersebelahan dengan Dowoon beserta majalah usang di pangkuannya.
"Tidak juga."
"Oh, kukira kamu sering ke penatu ini."
Sekejap Dowoon mendongak, menatap beberapa pakaian putihnya yang telah bercampur air sabun. "Aku tidak terlalu sering mencuci di sini. Tetapi karena sekarang awal musim dingin, jadi aku kemari."
"Iya, ya. Pasti banyak orang yang malas bersentuhan dengan air."
Sudah terhitung sekitar seminggu atau lebih, semenjak Dowoon melewati penatu di sebrang jalan itu.
Namun sekarang, jelas tertera sebuah tulisan berkapital yang menempel pada kaca salah satu pintunya; memberi sebuah informasi penting bahwa penatu itu tidak akan dibuka untuk sementara waktu.
Tentu saja, liburan musim dingin.
"Tolong, dua kopi hangat."
Arloji pada pergelangan tangan kiri masih mengarah pada angka lima, saat kedua genggaman tangan milik Dowoon terisi oleh gelas kertas berukuran sedang.
"Terima kasih," ucap si pemuda final, kemudian melajukan mobil yang ia tunggangi dengan kecepatan sedang, menembus jalanan berlapis es tebal.
Dowoon masih duduk begitu tenang di atas sofa hitam, hanya berusaha diam dan sesekali meregangkan leher akibat perjalanan panjang dari kota besar menuju tempat yang sedikit terpelosok.
Sampai pada saat di mana suara pintu depan terbuka, diikuti oleh suara beradu antara dua orang wanita dan langkah kaki yang bergerak gelisah, maka Dowoon pun bersiap untuk menyambut ramah.
"Bagaimana bisa kamu yang menemukan ponselku?"
Tersirat nada ketus sewaktu gadis bermantel merah tersebut menatap langsung sepasang bola mata tenang di hadapannya. Sementara si lawan bicara mengangguk.
Ia tahu, ada begitu banyak tanya yang Jian ingin ajukan. Tetapi dari sekian hal yang mengejutkan, rupanya Jian lebih memilih untuk menanyakan pertanyaan rasional lebih dahulu untuk sekarang.
"Kalau memang benar, bagaimana bisa kamu menemukan rumah Ibuku dengan kondisi ponsel yang masih terkunci?"
Dowoon berdiri tanpa ragu, menengok ke arah benda berbentuk pipih yang tengah menyala dalam genggaman Jian, lalu membalas sedikit berbisik, "Tidak mudah, butuh observasi selama tahunan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epoch ✔
FanfictionBerbagai macam periode tertentu dalam hidup segelintir manusia.