Day 2

451 80 62
                                    

Kunci rumah memang sengaja ia tinggalkan tergantung di atas lubang pintu. Selalu ia lakukan itu tiap pagi, sebelum merangkap menjadi salah seorang bartender kafe hingga hari menjelang petang nanti.

Jika ditanya mengapa, maka Wonpil akan mantap berdalih: "aku memang ceroboh, jadi suka lupa menaruh barang—termasuk kunci."

Lalu para tetangga yang sempat memergoki akan menggeleng heran bercampur prihatin, melihat pemuda penghuni rumah samping yang memiliki daya ingat setara orang lanjut usia.

"Apa perlu saya ingatkan agar Anda selalu membawa kuncinya? Saya khawatir akan ada penjahat masuk rumah."

Mendengar suara bertutur lembut tersebut, segeralah Wonpil menunduk hormat, tersenyum jauh lebih lama. "Terima kasih banyak, tetapi saya bisa mengurus diri sendiri."

Ada kerutan nyata hinggap di dahi sang lawan bicara, sampai saat di mana tangan Wonpil terjulur menuju kenop pintu rumah dan menutupnya sepihak.

Setelah berada di dalam, si pemuda malah mencicit ngilu. Otot pada bagian punggung dan lengan mulai memberontak ingin diistirahatkan. Tentu saja, ini akibat jam kerja tambahan yang sengaja ia ajukan demi menambah pasokan uang. Jadi terhitung hanya butuh sehari bagi tubuh si pemuda untuk beristirahat total.

Mungkin mayoritas orang yang mendengar akan berpikir bahwa Wonpil merupakan pemuda kolot dengan keinginan gila untuk sukses di usia muda. Klasik. Tidak salah sepenuhnya memang. Namun jika boleh diperjelas, maka ada dua hal yang perlu diluruskan.

Pertama, kebanyakan uang yang Wonpil dapat, ia gunakan demi mengisi persediaan pangan. Bahkan terbilang jarang mempedulikan isi perut si celengan babi di atas nakas dekat lemari.

Kedua, Wonpil memang kolot. Sedikit.

"Tersisa ramen, ya? Besok saja aku belanja bulanan. Malas."

Wonpil menutup kulkas berukuran sedang yang ia punya, lalu melenggang pergi menaiki tangga dengan beberapa keluhan ringan yang terpantul ke sekitar rumah.

Lambat laun matahari tenggelam, sedang jendela di kamar lantai dua dibiarkan terbuka untuk jalan para angin malam menggelitik anak-anak rambut kecokelatan milik si empunya; menjadi alarm paling ampuh seketika.

Karena tepat pada pukul tiga, Wonpil yang kerap menggunakan hampir seluruh waktu di hari libur untuk bergulat dengan ranjang, kini tengah menuruni anak tangga guna memastikan bahwa pintu depan tidak terkunci terlalu rapat. Bisa bahaya.

"Seingatku masih ada bubuk kopi sisa," gumam si pemuda seraya menjelajahi sebagian pantri yang masih minim akan cahaya.

Seulas senyum sumringah terlukis indah di wajah setelah didapati benda berkafein tersebut dalam jarak pandang. Sebentar Wonpil menguap, menghadapkan tubuh ke arah wastafel guna mengaduk cairan kegemarannya.

"Siapa di sana?" Suara si pemuda menggema. Di sekitaran dapur yang masih gelap, ia hanya bisa menyatukan kedua alis bingung.

Bunyi samar yang terdengar seperti gesekan kasar antara sesuatu dengan ubin dapur, makin memantapkan langkah Wonpil untuk mencari sumber suara.

"Sungguh, jika kau adalah tetangga yang mencuri selai kacangku kemarin, kuperingatkan sekali lagi. Selagi itu suatu perbuatan tidak terpuji, maka aku tidak akan segan menghajarmu di sini. Tidak peduli terpaut seberapa jauh usiamu."

"Won—Wonpil?"

Dalam satu gerakan cepat, si pemuda lantas menekan tombol sakelar, berlari menghampiri dengan hiasan wajah panik terlampau jelas.

"Apa Ayahmu melakukannya lagi?" Berusaha sekuat tenaga ia tahan emosi yang sudah mencapai puncak, kala mendapati si gadis bertubuh kering tersebut harus bergetar hebat di dekat ujung lemari dapur rumahnya.

Lagi-lagi, luka lebam. Sekali lagi, Arum datang dalam kondisi memilukan.

Wonpil menggertakkan gigi, menyalurkan pedih melalui pukulan kecil pada kayu di belakang tubuh si gadis. Namun setelahnya, Wonpil teramat menyesal.

Arum tentu sudah terlampau lelah menghadapi segala bentuk amarah dari sang Ayah. Yang gadis itu butuhkan sekarang adalah tempat berlindung, selagi hal yang bisa ia lakukan hanya menangis dan menjerit meminta ampun atas kesalahan yang tak ia tahu.

"Pergilah ke rumahku kapan pun kamu butuh."

Oleh karena itu, Wonpil hanya mampu membagi kehangatan pada si gadis dengan eksistensi sebuah jaket tebal sebagai pelindung tubuh lemahnya, mencoba memberikan kekuatan melalui genggaman tangan erat dan sorot mata teduh meyakinkan.

"Kupastikan, pintu ini akan selalu terbuka sewaktu kamu datang."

Epoch ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang