Bagian Empat

1.1K 60 7
                                    

Setelah gugur dua kali atas nekad yang buat saya terlihat seperti seekor keledai, saya tetap keukeuh untuk ikut PTN, tapi untuk di daerah Sumatra. Nama PTN-nya adalah SMMPTN.

Sebenarnya orang tua saya sempat pasrah ingin memasukkan saya ke Universitas Swasta. Saya ya terima-terima saja, dari pada tidak kuliah sama sekali. Lagi pula itu semua juga atas kesalahan saya, meskipun saya masih ingin kuliah di Negeri.

Tapi, setelah beberapa hari kemudian, mama saya bilang, "Yaudah, coba kamu ikut SMMPTN (Seleksi Mandiri Masuk Perguruan Tinggi Negeri) di UNIB (Universitas Bengkulu) semoga aja dapet."

Sepertinya sedikit kesal, karena saya gagal terus, mama lanjut bilang, "Tapi pilihnya di UNIB aja, gak usah yang macem-macem!"

Maaf ya, Mama, Ayah..o(╥﹏╥)o

Sampai pada saat saya harus daftar PTN terakhir saya. Saya di hantui kebingungan lagi. Saya bertekad untuk hanya memilih SAINTEK saja. Lalu saya teringat kalau saat sesudah Ujian Sekolah, saya menuliskan 'Arsitek' sebagai cita-cita saya di papan tulis, beserta tanda tangan saya. Saya juga teringat kalau saya pernah ingin menjadi seorang programmer, karena saya senang bermain game, dan ingin mencoba menjadi game developer.

Bagai ditimpa ilham dari Allah, saya berharap dan berdo'a, jika mungkin saja nasib saya ada dalam dua profesi itu.

Jadi, saat pendaftaran secara online, saya memilih tiga prodi di Universitas Bengkulu, yaitu:

1. Teknik Informatika (Teknik)
2. Arsitektur (Teknik)
3. Teknik Sipil (Teknik)

Setelah saya mendapatkan kesempatan sekali lagi, saya mencoba untuk mulai belajar, meskipun masih suka mual kalau lihat buku, saya mencoba bongkar semua materi SMA dari kelas satu sampai tiga.

Saya selalu berharap kalau Allah akan membantu saya, mencoba berpikir positif jika pilihan saya yang kemarin memang bukan yang terbaik untuk saya. Dan tidak lupa memperketat ibadah, ini salah satu kuncinya.

Hingga setelah saya melewati semua ujian tertulis. Pada saat pengumuman tiba. Jujur saja, tangan saya dingin gemetar memegang ponsel sembari membuka situs untuk pengumuman kelulusan. Setelah memasukkan nomor peserta dan tanggal lahir di layar terlihat kotak dengan border hijau dengan tulisan di dalamnya, 'Teknik Informatika' kemudian ada kode QR dan informasi lainnya (saya lupa, mwehe:v)

Setelah melihat itu hati saya berdebar lemas (lebay). Tapi lemas karena orang tua saya harus membayar 20 juta sebagai uang SPI (Saya lupa kepanjangannya apa), saya merasa saya sangat memberatkan mereka. Saya benar-benar menyesal, sampai beberapa kali saya menangis dalam kamar karena merasa sangat merepotkan orang tua saya.

Tapi dari situ saya merasa jangan sia-siakan kuliah saya karena orang tua saya sampai bela-belain bayar uang sebanyak itu untuk menyekolahkan saya sampai sarjana, mencari uang untuk kebutuhan saya dan adik saya. Jadi, saya merasa harus membuktikan kalau saya bisa membayarnya dengan secuil prestasi.

Dari bagian ini kalian bisa lihat, besar perjuangan orang tua membiayai anaknya, karena mereka berharap anaknya bisa sukses melebihi mereka. Bisa hidup bahagia dengan apa yang kalian capai dengan usaha kalian sendiri.

Jujur saja, sebelumnya saya beberapa kali ribut dengan orang tua saya. Di rumah, nyaris saya tidak pernah bertemu mereka, bahkan hari Minggu sekali pun. Entah mereka di luar, di dalam rumah pun mereka tidur. Saya sempat berpikir, "Apa mereka gak mau kasih motivasi buat gue? Kenapa gak pernah ada waktu buat berdiskusi?"

Pernah memang, sesekali saya maksa mereka untuk ngobrol. Tapi ujungnya mereka hanya bilang, "Kan kamu udah gede, ya kamu pikirin aja apa yang baik buat kamu."

Disitu saya merasa kesal sekali, sampai saya hampir tidak pernah keluar kamar, terlebih lagi saat itu sedang libur panjang. Selain mandi, makan, saya hanya berdiam di kamar. Seakan pikiran saya tertutup, stress, merasa tidak dipedulikan. Saya juga sempat beberapa kali berdebat dengan mama saya, dia sampai marah besar karena tidak terima dengan komentar saya.

Tapi sekarang saya sadar. Semua itu, kenapa mereka tidak ada waktu untuk saya. Selain mereka berpikir saya sudah beranjak dewasa, mereka juga sedang mati-matian full kerja untuk membiayai kuliah saya. Rasanya sedih sekali, selama ini saya telah berburuk sangka pada mereka.

Nah, dari cerita ini. Kalian bisa menilainya sendiri. Tidak selamanya yang terlihat itu seperti apa yang kalian pikirkan. Untuk itu, kalian harus semakin bijak dalam berpikir dan mengambil keputusan. Kalian kan udah gede:v

Pengalaman Masuk PTNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang