Back to School

4.3K 229 25
                                    

SMA Mulya Karya. Di sinilah dulu aku mengemban ilmu. Di sini pula aku bertemu lima anak aneh dan ajaib yang mau-maunya mengadopsiku sebagai sahabat. Maka di sinilah aku dan kelima sahabatku. Di sekolah kami, tengah malam begini. Tujuh tahun setelah kami semua lulus. Napak tilas masa SMA kata teman terjahilku yang sok asik, Aldo. Menjadi dewasa dan bekerja rupanya tidak membuat kewarasan kami meningkat. Ya, kami. Akupun termasuk tidak waras walaupun sempat mati-matian menentang ide Aldo ini. Empat temanku yang lain? Mereka malah menanggapi ide ini dengan antusias.

Aku memang cinta sekolah itu, tapi ngga begini juga sih. Sayangnya aku kalah suara dan memutuskan untuk ikut mayoritas. Wira; salah satu temanku yang memiliki mata paling indah dan suara paling membius; berkata, "Ikut dong Rey, mana seru kalo ada satu yang ngga ikut?". Aku pun tidak bisa menolak. Ah, Wira ... kamu ngomong, akal sehatku jadi hilang.

Kami berhasil masuk diam-diam dengan memanjat pagar tinggi sekolah kami. Bagi para cowo mungkin ini hal yang mudah. Tapi bagi aku dan Revi yang cewe, hal ini merupakan tantangan tersendiri. Aku sih masih syukur karena saat SMA, memanjat pagar saat telat sudah menjadi keahlianku agar bebas dari hukuman. Lagipula saat ini aku sedang pakai celana jeans, manjat pagar begini saja sih piece of cake. Tapi Revi yang baru pulang kantor itu kan memakai rok seragam kantornya. Tentulah dia yang paling kesusahan memanjat.

"Sini, Rev" Wira dengan sigap memegang tangan Revi dan mengkawalnya sampai menyebrangi pagar. Sementara aku? Empat laki-laki yang sudah jadi sahabatku sejak SMA ini nampaknya sudah tidak menganggap aku perempuan lagi. Aku memang cuek dan mandiri. Saat SMA aku memang terkesan tomboy. Tapi percayalah, Reyna Pramudita ini sebenarnya cewe banget loooh ... apalagi kalau sudah berhadapan dengan Wira.

Wira itu cowo populer. Ganteng dan baik. Memenuhi karakter cowo sempurna yang suka diimpikan cewe-cewe. Kenyataan bahwa aku mengaguminya diam-diam sejak SMA membuatku yakin bahwa aku adalah cewe straight. Instingku sama dengan insting mayoritas perempuan, tergila-gila pada Wira dan menjadikannya sosok cowo ideal.

Tidak tahu kenapa aku sangat menyayanginya. Sayang sekali sampai-sampai hatiku tidak bisa kemana-mana sejak aku mengenalnya. Sayang ... di mata Wira Cuma ada satu cewe, Revita Maharani.

Yah, mereka memang pasangan serasi. Satu ganteng banget, satunya lagi cantik banget. Dua-duanya baik banget dan dua-duanya sahabatku. Jadi bukan hanya aku suka pada sahabatku, tapi aku juga diam-diam suka pada pacarnya sahabatku. Double trouble ini sukses merantaiku dengan perasaan paling rumit sedunia.

Mereka sudah melekat sejak SMA. Pacaran baru setahun setelah saling kenal, tapi aku juga sudah bisa menebak sejak awal. Ada sesuatu tentang mereka yang membuatku tahu bahwa mereka akan berakhir menjadi satu. Terbukti malam ini, dengan pengumuman pertunangan mereka. Pengumuman yang sampai sekarang cukup membuatku panas-dingin. Menyelinap ke sekolah bersama-sama ini pun dipilih sebagai cara mereka merayakannya. Hebat sekali memang kedua orang ini. Sudah tiba-tiba bertunangan, lalu langsung membawaku untuk kembali menggali cerita cinta yang kupendam diam-diam di sekolah ini. Ngga sekalian gali makamku aja? Biar aku bisa rest in peace.

"Lo ngga apa-apa nyet?" seketika lamunanku buyar oleh suara dari sahabatku yang paling menyebalkan, Sani. Well, sebenarnya Sani itu sifatnya baik sih. Kalau mau nolongin teman yang membutuhkan dia tidak pakai ragu, pasti mati-matian. Tapi sehari-hari aku paling geregetan sama sifatnya yang kelewat cuek dan santai. Belum lagi mulutnya itu kalau sudah nyeplos, mie abang-ade kalah pedas! Namaku yang manis saja diubahnya menjadi "nyet". Kependekan dari ... ah, kalian tahu lah.

"Ngga apa-apa lah. Dulu pake rok aja gue jago manjatin nih pager, apalagi sekarang lagi pake jins gini," jawabku yang entah mengapa berusaha terlihat tangguh di hadapannya dan teman-teman lain. Ya, itulah aku, cewe yang selalu berpura-pura tangguh. Aku enggan memperlihatkan kelemahanku dan meminta bantuan. Sani menyengir jahil.

"Oiya. Kadang gue suka lupa lo tuh apaan, NYET," tekanan khusus pada sebutannya untukku itu membuat wajahku merah karena kesal.

"OTAK DIKIT, NGESELIN!" aku mengamuk.

"Ssstt!!" Ivan, si kepala geng, memberi aba-aba untuk tidak berisik dan berjalan sambil menunduk. Nampaknya ada satpam jaga di dekat kami.

Gugusan [DIHAPUS SEBAGIAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang