Menggali Kenangan

1.7K 171 2
                                    

Kami semua pun ikut menunduk, spontan membentuk barisan di belakang Ivan. Aku yang tadinya ogah-ogahan mulai ikut antusias. It feels so nostalgic, just like the old times. Dengan perlahan kami maju menghindari cahaya senter yang sedang diarahkan si Pak Satpam kesana-kemari. Setelah beberapa saat, terdengar suara langkah menjauh diikuti cahaya senter yang sudah tidak bergerak-gerak di sekitar kami.

Ivan lantas memimpin kami untuk menuju lapangan. Setelah sampai ke lapangan, barulah kami bisa sedikit lebih santai. Sekolah ini sangat luas sedangkan satpamnya hanya satu. Saat ini pak satpam pasti sedang keliling mengecek kelas di gedung sekolah yang paling ujung, letaknya cukup jauh dengan lapangan indoor ini.

Kami langsung duduk santai di tribun pinggir lapangan, mengambil posisi bebas tapi masih berada cukup dekat agar enak mengobrol. Melihat pemandangan ini aku pun tersenyum. Tinggal tambah gitar di tangan Ivan, buku menutupi wajah Sani yang santai tertidur, malam digantikan siang dan baju-baju kami digantikan dengan seragam, pemandangan inilah yang dulu sering kutemukan sehari-hari setelah pulang sekolah.

"Wuih, I got chills!! It's like the good old days!" sahut Aldo sambil memegang kedua sikutnya dan bergerak seperti kedinginan. Kami tertawa, nampaknya bukan hanya aku saja yang berpikiran seperti itu.

"Inget ngga sih pertama kali kita ngumpul gini?" tanya Wira.

"Pertamanya kita ngga langsung berenam kan ya? Gue soalnya ingetnya dateng pas kalian udah sering asik berlimaan gitu," tambah Aldo.

"Awal-awalnya tuh gue sama Wira sering nongkrong di sini sambil main gitar abis pulang sekolah pas masih kelas dua ..." Ivan akhirnya mengkonfirmasi.

"... Terus nih kunyuk satu -" Ivan menoyor Sani yang sudah santai dengan pose andalannya di sebelah Ivan; terbaring di tiga anak tribun dan menahan kepalanya dengan kedua tangannya sebagai bantal. Sani kembali mengeluarkan cengirannya, sementara Wira tertawa-tawa.

"Si Sani emang paling absurd. Tau-tau dateng terus numpang tidur di tribun. Bingung gue, kayak anak tangga gini kok dijadiin alas tidur. Tapi dia bisa pules beneran loh!" sambung Wira. Lalu semuanya tertawa terbahak-bahak.

"Enak sih disini adem, kipasnya gede-gede dan nyala terus. Jaman kita kan belom ada perpustakaan jadi ya numpang tidur siangnya di sini aja gue," jawab Sani.

"Kenapa ngga tidur di rumah aja sih lo?" tanyaku. Mungkin karena itu Sani nadaku sedikit ketus, tapi percayalah, aku jauh dari membencinya. Biar mulutnya ngeselin, tapi aku menganggapnya sama dengan keempat sahabatku yang lain. Bahkan sama dengan Wira. Mereka semua sama-sama orang yang kuputuskan untuk kupertahankan di hidupku apapun yang terjadi. Mereka sahabat sederhanaku yang bisa berubah hebat kalau untuk melindungi satu sama lain.

"Udah kepalang ngantuk biasanya gue, bahaya kan bawa motor pulang sambil ngantuk-ngantuk gitu," jawab Sani acuh.

"Ngomong-ngomong ... perpus tuh udah ada yaa, gue kan dulu ke perpus melulu sebelum jadi anak nongkrong tribun," kataku mengkoreksi Sani.

"Cailah! Gaya lo, nyet! Anak nongkrong!! Hahahaa..." kata Sani diikuti tawa gelinya. Wajahku memerah karena malu.

"Bawel lo!" kataku seadanya sambil cemberut.

"Nih, gue koreksi koreksian lo. Elo tuh dulu ngga nongkrong di perpus, tapi di ruangannya klub buku. Selamat ya Reyna Pramudita, bahkan setelah bertahun-tahun lo tetep clueless kalo dulu tuh lo suka menginvasi klub sekolah semena-mena," balas Sani panjang lebar, membuatku naik pitam. Kenapa siiihhh ini anak?! Padahal sudah kutahan-tahan supaya ngga emosi! Kadang aku suka curiga kalau Sani itu ketagihan sama jitakanku deh. Omongannya ngeseliiin... terus! Kayak minta dijitak tapi malu gitu!

Ngomong-ngomong, ya, aku anaknya kasar. Aku tidak pandai membalas orang dengan kata-kata. Aku tidak bisa berkata kasar karena didikan keras ayah yang sejak kecil selalu menegurku tentang menjaga omongan. Kosakata makianku sangat terbatas dan tidak begitu menyakitkan. Karena aku tidak bisa menyakiti orang lain lewat ucapan, aku pun lebih biasa menyakiti lewat tindakan.

Biasanya aku hanya bereaksi ketika emosiku dipancing, tidak pernah karena aku hanya ingin menyakiti. Meskipun begitu, banyak yang melihatku sebagai perempuan galak dan takut berurusan denganku. Itu pula yang membuatku tidak punya teman saat SMP. Kupikir saat SMA akan sama saja. Tapi aku bertemu mereka berlima. Tak peduli berapa kali aku menjitak atau memukul mereka, mereka tidak menjauhiku. Paling hanya mengeluh kesakitan atau mengingatkan kalau aku sudah terlampau kasar.

Sekarang sih aku sudah nyaris tidak pernah berlaku abusive seperti itu, kecuali pada Sani. Celaannya suka ngga berhenti, kesabaranku selalu habis menghadapinya. Tidak terkecuali saat ini. Akhirnya kuberikan saja apa yang dia minta itu. Dia mengaduh, yang lain tertawa-tawa lagi.

Sambil terus tertawa dan mengenang masa SMA kami, otakku pun memutar kembali rekaman ketika ini semua dimulai. Bagaimana aku dan kelima sahabatku yang beragam ini pada akhirnya menjadi sedekat ini ...

Gugusan [DIHAPUS SEBAGIAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang