Catatan kedua : Dasar bocah gila!
***
Rendra berjalan pelan sembari menunduk, menendangi bebatuan kecil yang ada di sepanjang jalan yang ia lewati. Enggan untuk mengamati keadaan sekitarnya. Palingan hanya ada beberapa motor dan beberapa pohon yang tumbuh bebas di kanan kirinya. Tidak lucu jika Rendra justru mendapati kunti yang sedang nongkrong di atas pohon sana.
"Kakak!"
“Halo, Kakak kita ketemu lagi!”
Tepukan keras di bahu kirinya membuat Rendra mengaduh kesakitan, dibarengi dengan sedikit rasa kaget. Awalnya ia hendak langsung marah kepada orang yang sudah membuatnya kaget dan sakit dalam waktu yang sekaligus, namun niatnya urung begitu di hadapannya berdiri seorang manusia berbaju babydoll biru langit bermotif boneka.
Rasa ingin memaki dalam tubuh Rendra semakin membara begitu menyadari siapa gerangan yang ada di hadapannya.
Bocah aneh itu lagi.
Tadi Rendra sudah bersyukur tidak kembali bertemu dengan manusia serba pink di angkringan langganannya tapi sekarang entah dari mana asalnya bocah ini sudah berdiri di hadapannya dengan senyum secerah mataharinya.
"Aku nyariin Kakak tau! Capek!"
Adunya dengan kesal, bibirnya ikut mengerucut. Matanya menatap kesal pada Rendra yang tampak memasang wajah kesalanya.
"Salah sendiri nyariin, gue kan, nggak minta lo nyari gue."
Rendra berdiri sembari bersedekap, memperhatikan bocah yang saat ini mendumel dengan wajah gemasnya. Memang Rendra dapat melihat ada beberapa peluh kringat yang terlihat di pelipis gadis itu.
"Aku ngeluarin tenaga yang gede buat nyarin Kakak tahu, Aku capek!"
Adunya sekali lagi. Bibirnya masih mengerucut seperti anak ayam. Dan detik selanjutnya mata Rendra melotot, lebih tepatnya kaget melihat gadis itu duduk berlesehan aspal. Bahkan dari gerak-gerik gadis itu terlihat ingin merebahkan dirinya.
"Heh, bangun lo! Jangan bikin orang mikir macem-macem, ya!"
Rendra mulai mengamati sekelilingnya, barang kali ada orang yang melihat mereka berdua dan menuduh dirinya melakukan sesuatu pada gadis itu sampai-sampai tiduran di jalanan. Beruntungnya saat itu jalanan sedang sepi, sehingga tidak ada seorang pun yang melihat hal memalukan itu.
"Bangun!"
Kaki Rendra bergerak mendekat ke arah gadis yang saat ini sudah benar-benar merebahkan tubuhnya dengan seenaknya di jalanan. Menarik tangan mungil gadis itu untuk bangkit dari posisinya.
"Aku capek, Kak!"
Tangan Rendra masih saja menarik gadis itu untuk bangun. Melihat tingkah gadis ini yang menurut Rendra tidak punya malu, ia jadi bertanya-tanya berapa umur gadis ini? Masih kekanak-kanakan sekali.
"Jangan tiduran disitu. Kotor." Selain memang tempat itu juga kotor, Rendra juga malu. Ia sempat melihat ada seseorang yang memperhatikan mereka, hanya sebentar memang tadi tetap saja Rendra malu.
Mata anak cowok yang masih memakai seragam pramuka itu akhirnya mendapati bangku kosong di pinggir jalan. Setidaknya lebih layak untuk dijadikan tempat istirahat dibanding lantai jalanan. "Ke sana ayo. Nanti gue kasih makanan."
Mendengar kata makanan yang keluar dari mulut Rendra, gadis itu bergerak dengan semangat. Berjalan dengan cepat ke arah tempat yang tadi Rendra. Membuat Rendra yang menyaksikan itu menggelengkan kepalanya heran.
"Mana makanannya?"
Baru saja Rendra ikut bergabung dengan gadis itu, ia sudah kena palakan lagi. Memang salahnya sih, yang menjanjikan makanan apa lagi pada bocah sepertinya.
"Minum dulu, lo haus, kan?"
Rendra mengeluarkan botol mineral dari dalam tasnya, minumaan sisanya tadi. Ia kasihan juga dengan gadis itu yang kelihatan jelas kelelahan. Meskipun bukan karena ulahnya, tetap saja Rendra merasa bersalah dengannya.
"Kenapa tinggal setengah, Kak?"
"Udah gue minum."
Jawaban Rendra ternyata membuat gerakan tangan gadis itu berhenti bergerak membuka tutup botol. Mengangsurkan kembali kepada Rendra yang duduk di sebelahnya. "Lo nggak mau minum bekas gue? Yaudah sini."
"Kata Bunda nggak boleh bagi-bagi minuman di tempat yang sama, banyak kuman. Nggak baik."
"Iya deh, anak bunda."
Rendra mengangguk, mengiyakan alasan yang diberikan oleh bocah itu. Memang, teruntuk beberapa orang meminum minuman di tempat yang sama memang menjadi hal yang dihindari, dan Rendra mengerti akan hal itu. Ia tidak mempermasalahkan hal itu, hanya saja jika gadis itu kehausan sudah bukan tanggung jawabnya.
"Nih buat lo." Sebagai gantinya, Rendra menyodorkan permen tusuk yang ia dapatkan dari uang sisa membeli jajan di kantin tadi. “Belum gue makan, emut, ataupun jilat. Nggak ada kumannya.”
"Makasih kak."
Sudah ia duga, gadis ini akan senang dengan makanan sejenis ini. Mudah sekali untuk ditebak. Yang Rendra tidak mengerti adalah, mengapa gadis ini juga mencium pipi kirinya.
"Anjir, ngapain lo nyium gue!"
Rendra menatap horor pada gadis di sampingnya, tangan kanannya santiasa memegang pipi kirinya yang sekarang terasa hangat. Rendra bahkan sampai berdiri, terlihat jelas memberikan jarak pada gadis yang baru saja menciumnya.
Ciuman pertamanya. Walaupun hanya di pipi, bukan di bibirnya tapi ini kali pertama Rendra mendapatkan kecupan selain dari Ibunya. Itupun dulu saat dirinya masih SD. Jelas saja Rendra kaget, lihat saja wajahnya sudah memerah sampai ke telinga-telinganya.
Rendra malu.
"Aku selalu nyium Bunda sama Ayah kalau dikasih hadiah."
"Tapi gue bukan ayah bunda lo, bocah!"
Rendra mengacak rambutnya dengan frustasi, hampir hilang kesabaranya menghadapi tingkah polos nyaris bego gadis ini. Bagaimana bisa menyamakan dirinya yang jelas-jelas orang asing dengan kedua orang tuanya?
"Nggak boleh, ya?"
"Ya lo mikir aja deh! Sama Ayah Bunda lo doang yang cium-cium, sama orang lain nggak boleh. Banyak kuman!"
Sengaja, Rendra menirukan ucapan gadis itu. Berusaha memperingatkan pada gadis itu agar tidak sembarangan mencium orang. Untung saja yang dicium Rendra, anak polos yang belum kenal cewek katanya, coba saja dapat buaya darat. Rendra jamin gadis ini tidak akan pulang ke rumahnya nanti.
"Mata Kakak kecil, lucu kalau melotot."
Bukannya mendengarkan apa yang Rendra ucapkan, gadis ini justru tertawa. Lebih tepatnya menertawakan Rendra yang sedari tadi sudah berurat dengan mata sipitnya yang sengaja dibuat melotot. Yang sayangnya di mata gadis ini tidak terlihat garang sama sekali. Justru menurutnya Rendra terlihat menggemaskan dengan mata melototnya.
"Heh, lo dengerin gue ngomong, ya!"
"Iya Kak iya, Aku dengerin kok. Nggak boleh cium-cium, kan?"
Rendra tidak menanggapi pertanyaan yang dikeluarkan oleh gadis itu. Ia lebih memilih untuk tetap berdiri dengan melipat kedua tangannya. Badannya sengaja ia buat menyerong, lebih tepatnya enggan untuk menoleh pada manusia lain di belakangnya.
Sialnya matanya justru menangkap hal yang tidak ingin ia lihat. Buru-buru Rendra menunduk menyembunyikan wajahnya, berharap agar kedua orang yang hendak melintas di depannya tidak mengenalinya. Sayangnya harapannya pupus begitu mendengar suara klakson motor yang berdenging kencang, sepertinya sengaja dibunyikan seperti itu.
"Cie-cie, pacaran nih, ya!"
"Udah baikan, ya?"
Inilah mengapa Rendra tidak ingin dirinya kembali bertemu dengan dua makhluk ini, sudah jelas dirinya akan menjadi omongan keduanya. Dan mengapa mereka berdua harus melintas di jalanan ini, disaat Rendra masih bersama dengan gadis ini. Sepasang kekasih itu membuat rasa malu Rendra semakin bertambah. Untungnya saja mereka hanya benar-benar melintas, tidak berhenti untuk menegur sapa Rendra secara langsung.
"Kakak nggak mau duduk? Nggak capek berdiri terus?"
Rendra menoleh ke samping kirinya, dan dirinya mendapati seorang bocah tengah asik menyantap permen yang ia berikan tadi. Lihat, gadis ini bahkan tidak terganggu dengan panggilan-panggilan gila dari sepasang kekasih tadi.
Rendra lebih memilih untuk mengahlikan perhatiannya, memilih untuk meraih tas punggungnya yang tergeletak di kursi yang ia duduki tadi. Sudah pukul delapan lebih, ia ingin pulang.
"Gue mau pulang."
"Iya hati-hati di jalan, Kakak!"
Baru saja Rendra melangkahkan kakinya keluar dari jalanan itu kembali terhenti, begitu mendengar panggilan terakhir yang disematkan orang itu untuk dirinya.
"Jangan panggil gue Kakak! Gue bukan kakak lo!"
"Iya-iya!"
Meski sudah dimarahi Rendra berkali-kali, gadis ini masih bisa tersenyum dengan lebar. Sembari melambaikan tangan kanannya pada Rendra yang sudah berjalan beberapa langkah dari tempatnya duduk.
Melihat tingkah gadis itu membuat Rendra tidak yakin meninggalkan gadis itu seorang diri di sana. Walaupun lingkungan tempat tinggalnya sudah dijamin aman, tapi niat jahat tidak pernah ada yang tahu asalnya dari mana.
"Ah, masa bodo kemarin juga gue tinggal, tuh, bocah baik-baik aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Malam
Teen Fiction"Minta uang." "Aku minta uang." "Aku mau pinjem uang Kakak. Aku tadi lupa bawa uang, sekarang Aku laper, mau makan." "Kalo lo laper dan lo nggak punya duit, balik. Ngapain kesini." "Tolong, Aku pinjem uang Kakak. Besok Aku kembaliin, Aku janji. To...