ONE STEP CLOSER

11 0 0
                                    

Sampai suatu saat, kuingat tanggal 8 Juni 2013 merupakan hal yang sangat istimewa bagiku namun awal badai melanda cintaku.
Dia mengungkapkan bahwa dia menyukaiku namun dia menegaskan bahwa dia tidak mencintaiku. Semudah membalikkan telapak tangan saat dia berkata seperti itu. Mungkin secara teoritis, aku ingin berkata “aku tidak menyukaimu” karena “aku mencintaimu” namun cinta menepiskan rasionalitas.
Tanpa berpikir, aku menjawabnya. Mengganggapnya hanya bercanda sehingga ia mau meyakinkanku bahwa dia benar-benar menyukaiku, klasik memang.

Dihari itu juga, aku mengakui bahwa aku juga menyukainya dan senyuman terus mengembang dalam hariku. Disaat yang bersamaan, dia menginginkan bahwa aku tak membocorkan hubungan kami kepada orang lain, termasuk sahabatku. Aku tak mungkin melakukan hal itu, aku tak pernah merahasiakan secuilpun peristiwa dari mereka.
Mereka berhak mengetahui kebahagiaanku.
Dia terus memanggilku sayang, padahal dia tidak menyatakan bahwa dia mencintaiku.
Namun gengsi mengalahkan segalanya, kutegaskan “kita tidak pacaran, jadi jangan memanggilku sayang” dan dia terima.
Memang aneh, mengapa dia tidak mengajakku pacaran sehingga kami bebas mendeklarasikan hubungan kami? Aku takut dia belum bisa melupakan masa lalunya, aku tahu dia masih sangat menyayangi mantan kekasihnya, membuatku sedikit kecewa namun malah membuatku memperjuangkan hubungan kami. Tapi apa gunanya suatu hubungan bahwa hanya salah satu yang memperjuangkan bukan keduanya? Kurasa waktu cepat berlalu, telah mencapai seminggu sejak kami mengetahui kami saling suka.

Namun konflik cintapun dimulai, dia tidak menghubungiku lagi. Canggung menyelimuti hari-hari kami, diapun seakan menjaga jarak denganku. Tak mengeluarkan suara buatku lagi, tak ada canda tawa lagi.
Dia malah mencoba mendekati Yuna dan mencoba meyakinkan teman-teman bahwa dia menyayangi Yuna bukan aku.
Memang tak ada yang tahu akan kedekatan kami berdua, karena memang semua merasa kami dekat sebagai teman nyablak. Hanya itu. Apa yang dia inginkan? Tak ingatkah dia seminggu yang lalu dia berkata seperti apa kepadaku? Apa itu hanya kekhilafan sesaat yang harus dimaafkan? Ingin rasanya aku seret dia menjauh dari hiruk pikuk kelas dan menampar wajahnya saat itu karena dengan mudahnya mempermainkan hatiku begitu saja. Namun keberanianku yang tak cukup untuk melakukan itu semua.

Seminggu lagi, dia harus pergi. Semakin dekat dengan hari keberangkatan student exchange, dia semakin menjauh. Dia bisa tertawa dengan cewek lain, bukan denganku dan karenaku seperti dahulu.
Dia bahkan kasar denganku dan tak pernah lagi menganggapku ada. Mungkin dia hanya berkata denganku saat dia butuh saja. Amnesiakah dia? Atau kecanggungankah yang dia rasakan? Atau memang niat dia untuk menjungkirbalikkan hatiku? Hanya Tuhan yang tahu.

Hari-hariku kini tak lagi indah, tak ada pelangi yang menemaniku lagi. Galau? Mungkin. Dan kini saatnya dia berangkat student exchange, aku hanya termangu sedih meratapi kepergiannya. Bayangkan empat bulan tak bertemu dengannya tak bisa melihat senyumannya lagi, itu cukup membuatku frustasi layaknya Bella saat ditinggal Edward dalam film New Moon hanya saja aku tak separah itu.
Yang masih membuatku bingung, aku sudah sangat dia kecewakan.

Dia sudah mencampakkanku namun hati ini tetap bertahan dan mengharapkan kehadirannya kembali lagi padaku.
Tak lelah aku menyematkan keinginanku untuk mengembalikan semua keadaan ini seperti dahulu dalam setiap buliran doaku namun aku sadar semuanya tak akan dengan mudahnya kembali seperti dulu

KECEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang