Dua

7.1K 471 9
                                    

Ini no edit, ya. Direpost dalam rangka menemani kalian yang #DirumahAja.

***

Pagi sekali Rana sudah berada di kantor, ada beberapa halaman yang belum ia print karena printer miliknya kehabisan tinta.
Kadang Rana merutuki keacuhannya yang sudah lama tidak mengecek kondisi printer.

"Sepagi ini ke kantor?" Suara berat sukses membuat tumpukan kertas yang sudah Rana susun berhamburan ke lantai karena terkejut.

Rana buru-buru jongkok memunguti kertas yang berhamburan di lantai.
Rambut cokelat panjangnya yang ia gerai menjuntai menutupi wajahnya.

Pria yang mengejutkan Rana ikut berjongkok membantu memunguti kertas di sana.

"Maaf, saya mengejutkanmu," ucapnya menyesal.

Rana membereskan rambutnya matanya menangkap sosok pria berjas rapih dengan rupa yang tampan. Rana sempat terpukau beberapa detik sebelum memutuskan untuk segera berdiri. Pria itu ikut berdiri menyodorkan beberapa lembar kertas ke arah Rana, tanpa menoleh Rana mengambil kertas itu.

Dahi Rana mengerut samar.
Dia tidak pernah melihat staff di depannya ini, apa mungkin karyawan baru? Pikirnya heran.

"Tidak apa-apa, saya juga yang kurang hati-hati. Maaf merepotkan," sahut Rana tak kalah sopan.

Pria itu tersenyum tipis, memasukkan tangan kanannya ke saku celananya. "Jadi, kenapa sepagi ini sudah berada di kantor?" tanyanya mengulang pertanyaan yang sama.

Rana melirik ke arah printer yang sudah tidak berbunyi lagi.
"Printer saya habis tintanya, jadi terpaksa untuk sisanya saya selesaikan di kantor," jawab Rana seadanya.

Pria itu kembali tersenyum melihat Rana yang menunduk tak berani menatapnya.
"Saya suka karyawan yang seperti kamu," katanya santai.

Spontan Rana melihat pria di depannya, Rana menatapnya lekat menebak sebenarnya pria di depannya itu siapa.

"Kamu akan tahu nanti setelah meeting nanti," ucapnya seraya berlalu meninggalkan Rana yang melongo tak mengerti.

Kepala Rana menggeleng menepis pikirannya.
Ia menatap sendu kertas yang sudah ia susun kini berantakan lagi.b"Mungkin ini yang dinamakan sakit tak berdarah," gumam Rana meringis.

Waktu menunjukkan pukul setengah delapan pagi, itu artinya Rana masih memiliki waktu untuk menyusun kembali semuanya lalu dibuat jadi laporan seutuhnya.

"Woy!" Seru Nevi tepat di telinga Rana.

Rana memutar bola matanya jengah. "Aku yakin, satu kali saja lagi ada yang mengejutkanku, aku akan kena serangan jantung mendadak," gerutu Rana dengan tangan yang masih fokus pada pekerjaannya.

Nevi terkekeh pelan mendengar gerutuan Rana. "Aku tadi pagi mengetuk pintu kamarmu beberapa kali, tapi tidak ada sahutan. Ternyata kamu berangkat pagi sekali, mau dapat bonus, Cin?"

Rana tersenyum tipis seraya mengetuk laporan yang sudah tertumpuk rapih. "Bukan dapat bonus, printerku kehabisan tinta. Jadi, terpaksa pukul enam pagi aku harus sudah ada di sini. Laporan pemasukan akhir bulan ini lumayan buat kepala berdenyut."

Nevi mengangguk paham. "Kenapa tidak ke kamarku saja? Printerku utuh, bisa dipakai."

"Itu ide terakhir yang aku ambil, membangunkanmu sama dengan perjalanan ke kantor," dengus Rana malas. Nevi memang tipe wanita yang tidur itu seperti kebo, susah untuk dibangunkan.
Butuh waktu 30 menit baru Nevi akan benar-benar bangun.

Nevi memberenggut sebal, ia bersungut ke arah Rana. "Ya sudahlah, ayo kita ke ruangan. Katanya sih ada meeting dadakan, perkenalan direktur baru kita yang baru dimutasi."

Rana mengangguk seraya berjalan keluar beriringan dengan Nevi.

***

"Aish ... direktur kita tampan sekali," ucap Devi rekan seperjuangan Rana.

Rana hanya melirik sekilas tanpa memperdulikan suara berisik Devi. Devi duduk disebelah Rana menggunakan kursi kosong yang ditinggal pemiliknya, bertopang dagu memeperhatikan Rana yang terlihat tak perduli.

"Aku ragu deh kamu normal Rana," ceplos Devi polos.

Rana melihat Devi tajam. "Maksud kamu apa?"

Devi mengedikkan bahunya tak acuh. "Habisnya ekspresi kamu biasa saja, padahal direktur baru kita tampan banget," katanya dengan nada seolah menyalahkan ke tidak antusiasan Rana. "Nih ya, Ran. Setiap wanita tadi, di ruang meeting itu tidak ada yang berkedip menatap direktur baru kita. Lah kamu kok aku perhatikan cuek sekali, tidak ada tertariknya sama sekali."

Rana mendesah kesal, konsentrasi kerjanya pecah gara-gara rekan satu divisinya di sampingnya itu. "Kamu tidak bisa diam sebentar saja!? Aku sedang memperbaiki pekerjaanku," gerutu Rana. "Dan ya, mungkin pekerjaanmu sudah selesai sampai bisa memikirkan Direktur baru tampan itu, tapi aku masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan daripada mengagumi pria yang tidak jelas!" Sarkas Rana kesal.

Devi mencebik ke arah Rana. "Kamu itu biasa saja dong, jangan sewot begitu. Ya sudah, mata kamu kayaknya rabun atau hati kamu juga datar persis seperti wajah kamu," cibir Devi beranjak kembali ke tempat duduknya.

Rana menghembuskan napas lelah. Dipikir dia punya teman kok pecicilan sekali. Rana geleng-geleng kepala tak habis pikir.
Punggung kecil Rana bersandar di sandaran kursi kerjanya.
Memang Direktur barunya itu tampan, direktur yang tadi mengejutkannya. Rana memijat pelipisnya lelah, bagaimana bisa Direkturnya itu mencuri pandang ke arahnya, ah atau mungkin Rana saja yang terlalu berlebihan.

"Raga Hutama ...," gumam Rana kemudian.

Iya, Raga Hutama. Direktur yang masih muda, tampan dan penuh kharisma. Rana tidak memungkiri sejak pertama kali bertegur sapa dengan direkturnya itu, jantung Rana berdetak tidak karuan. Rana geleng-geleng kepala menepis pemikiran yang sama sekali tak masuk akal. Berdetak tidak karuan bukan berarti cinta, siapa tahu kan hanya terkejut.

Rana kembali berkutat dengan komputernya, untung saja Nevi tidak satu divisi dengannya. Jika saja ditambah adanya Nevi, sudah dipastikan kubikelnya akan heboh dengan seruan Nevi.

Takdir cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang