Satu

13.1K 521 7
                                    

Bibir seksi Rana terangkat ke atas membentuk senyum tipis melihat sahabatnya yang sedang membuat kekacauan di toko baju langganan mereka. "Rana bagaimana dengan yang ini?" tanyanya lelah.

Rana nampak berpikir, jemari lentiknya mengusap dagunya, sementara matanya menatap lekat pakaian yang ditunjukkan.
"Bagus, aku suka dengan yang itu. Terlihat lebih simple tapi sopan. Kamu ambil saja yang itu," sahut Rana akhirnya memberi pendapat.

Wanita itu mengangguk semangat meninggalkan Rana termangu di ruang ganti.
Rana hanya bisa berdecak seraya menggelengkan kepalanya.
Nevi memang sahabat terajaib yang pernah ia miliki.

Nevi kembali ke ruang ganti, mengajak Rana yang masih berdiri di sana. "Sudah, Ran. Bagaimana kalau kita makan siang dulu di tempat biasa?" tawarnya.

Rana menggelengkan kepalanya menolak. "Untuk kali ini, aku tidak bisa Nev. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum agenda besok senin," tolak Rana halus. Pertama, bukan hanya pekerjaannya saja yang menunggu. Rana juga tahu betul isi dompet sahabatnya itu.

Memang Rana bekerja menjadi salah satu staff di Bank swasta di kota besar, Rana terkenal dengan ke uletannya. Rana bukan tipe orang seperti ini, tapi keadaan yang memaksanya berjuang keras. Kedua orang tuanya meninggal tepat tiga tahun yang lalu, dimana Rana sedang masa-masanya mendekati wisuda.
Bagaimana tidak terpukul melihat kedua orang tuanya meninggal dalam keadaan yang tidak wajar dan sekarang Rana tahu siapa dalang dibalik kematian orang tuanya.

Semenjak itu, Rana memutuskan untuk tinggal sendiri dengan menyewa kosan ramah lingkungan serta ramah kantong yang dekat dengan kantornya, yang kebetulan tetangga di sisinya itu, ya, Nevi ini. Wanita cantik berasal dari sebrang dan kebetulannya lagi mereka satu tujuan, jadilah mereka dekat sekali.

"Ya elah, Ran ... rajin bener sih. Santai saja, jangan terlalu diambil berat nanti keburu tua loh," sergah Nevi berusaha membujuk Rana.

Rana geleng-geleng kepala, sementara tangannya menggeplak kepala Nevi, membuat Nevi mengaduh kesakitan. "Kamu ini bagaimana Nev, kalau diambil santai nanti kita makan apa? Iya kita bisa santai, jangan lupa gaji kita juga dibantai," omelnya pada Nevi.

Rana memang tipe pendiam di depan banyak orang, tapi kalau dengan Nevi, Rana berubah jadi cerewet. Memang begitu sifat asli Rana. 

Nevi bergidik ngeri. "Horor juga ya mendengar gaji dibantai. Rasanya lebih horor dari film horor."

Rana memutar bola mata jengah. "Iya seperti wajah kamu saat ini yang horornya lebih dari horor beneran," cebik Rana kesal.

Nevi cengengesan, dia tahu jika dia sudah membuat sahabatnya kesal. "Iya deh maaf, tapi aku serius Ran.. Aku yang traktir.
Bagaimana makanannya dibungkus saja buat di kamar nanti?" Usul Nevi harap-harap cemas.

Rana tampak berpikir beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Bagus tuh, aku lebih suka kayak begitu."

Dan akhirnya mereka pun berjalan melenggang meninggalkan butik.

"Nah, karena sekarang aku yang traktir, kamu bebas milih apapun," kata Nevi seraya tersenyum. "Tapi jangan yang mahal-mahal ya," lanjutnya berbisik malu.

Rana tersenyum geli sebelum akhirnya memutuskan untuk memesan, pastinya makanan yang murah. Ya beginilah resiko jadi anak rantau yang menyewa kamar kos, setidaknya mereka bisa hidup mandiri tanpa bantuan orang tua. Dulu, cita-cita Rana meneruskan usaha Ayahnya. Namun semuanya hancur setelah menerima kenyataan bahwa ada yang mengincar perusahaan kecil milik ayahnya. Akhirnya Rana memutuskan untuk pergi ke kota besar dan mencari pekerjaan yang bisa menyukupi kebutuhan perutnya.

Saat mereka duduk di kursi tunggu, tiba-tiba Nevi menyenggol lengan Rana pelan, membuat Rana menoleh pada Nevi. "Ran, lihat mereka tampan sekali ...," bisik Nevi berdecak kagum.

Mata Rana mengikuti arah pandang Nevi, sedetik kemudian Rana mendengus sebal. Nevi ini tahu saja pria tampan, batin Rana menggerutu.

Setelah pesanan sampai dan sudah dibungkus, mata Nevi masih saja memperhatikan dua pria yang memakai setelan casual yang bisa ditafsirkan jika mereka kalangan orang berada.

Rana menghembuskan napas kesal melihat Nevi yang tak kunjung sadar jika mereka sudah di kasir. Rana menutup mata Nevi dengan sebelah tangannya.
"Nev, kamu mau bayar tidak ini!?" Sentak Rana kesal.

Nevi terkesiap, dia segera melepaskan jemari Rana yang menutupi matanya. Nevi melirik Rana kesal, sedangkan Rana melototkan matanya pada Nevi.
"Ya dibayar dong, Ran. Masa iya aku ngutang," sahut Nevi mencebik kesal, karena kesenangannya diganggu.

"Ya sudah cepat bayar dong ...!" Titah Rana tak menghiraukan gerutuan Nevi. Rana memperhatikan Nevi yang mengeluarkan dompet, lalu mengambil satu lembar uang seratus ribu, dan memberikannya pada kasir.

Rana tersenyum tipis, hendak beranjak. Namun urung saat melihat mata Nevi yang masih gencar melihat ke arah sana. Rana memutar bola matanya jengah akan sikap kampungan Nevi. "Kamu tidak mau pulang? Ya sudah aku duluan," sentak Rana bernada ketus. Rana memilih berjalan duluan, karena percuma menunggu Nevi sadar.

Nevi sadar akan kepergian Rana, dia berkacak pinggang, lalu berjalan cepat menyusul Rana.
Setelah berhasil menyusul Rana, Nevi kembali memuji Dua Pria itu.  "Aih ... gila ya, kok mereka tampan sekali sih," decak kagum Nevi bernada gemas.

Rana hanya bisa mendengus terus berjalan sampai pelataran parkiran mal. Rana mengambil kunci motornya yang ia simpan di saku jeansnya. Rana menyalakan mesin motor maticnya, lalu memakai helm biru favoritnya. "Kamu tidak tahu kan orientasi sexnya seperti apa? Hati-hati loh, siapa tahu macho begitu sukanya sama pentungan." ucapan Rana sukses membuat wajah Nevi tertekuk masam.

Nevi meraih helm yang disodorkan, dirinya memasang eksperesi jijik di wajahnya.
"Iya juga ya, di zaman sekarang kan, pria yang kayak begitu patut diragukan, euww... Nyesel aku sempat terpesona."

Rana mengangguk setuju. "Cepat naik, aku benar-benar harus segera mengerjakan laporan," titah Rana terburu-buru.

Nevi segera naik, lalu motor Rana mulai meninggalkan halaman parkiran mal.

Takdir cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang