Enam

4.8K 326 4
                                    

"Hayo! kamu ketahuan ada sesuatu dengan Bapak Raga. Wo'ow tapi tak mengapa, aku jadi senang, semoga saja dapat gaji lebih." Nevi sedari tadi menggoda Rana dengan menyanyikan salah satu lagu lawas waktu dia SMA dulu.

Rana mendengus geli melihat Nevi yang berjoget tak jelas sejak kepulangan Raga dari kosannya.
Rana geleng-geleng kepala mendengar suara cempreng milik Nevi.

Nevi melirik Rana sekilas sebelum duduk di pinggir ranjang. "Ran, jadi kemarin kamu ..." Nevi sengaja memenggal kalimatnya menunggu Rana menyanggah, tapi sayangnya Rana diam saja.
"Jadi, kemarin motor kamu diurus Pak Raga? terus kamu diantar sama dia?"

Rana hanya diam, ia lebih memilih fokus dengan novelnya dari pada menanggapi Nevi.
Nevi kesal karena Rana hanya diam saja, Nevi menyeringai.
Hap ... buku Rana sudah beralih ke tangan Nevi. Wajah Rana tak menunjukkan ekspresi apapun, hanya datar saja. Rana beranjak dari rebahannya kemudian berjalan menuju kamar mandi.

Nevi menghela mendengus sebal melihat ekspresi Rana yang biasa saja. Nevi mengangkat buku yang ia pegang. Aish ... Rasanya gemas sekali, punya sahabat kok begitu amat ya. Nevi menggigit keras novel Rana, berdecak lalu membanting novel Rana ke ranjang.

"Aku balik ke kamar Ran!" teriak Nevi segera berlalu.

Rana segera keluar setelah mendengar Nevi pamit, Rana mengusap dadanya lega seraya menghembuskan napasnya lega.
Dengan santai Rana kembali berbaring di ranjangnya.

Pintu kembali terbuka. "Hayo loh ... Lari dari kenyataan!" Kepala Nevi mengintip di celah pintu, kemudian kembali masuk ke dalam.

Rana terkesiap langsung menoleh ke arah pintu, ia memutar bola matanya jengah.
Oh ya ampun ... Nevi ini keponya tidak tertolong. Rana mendengus kesal melirik Nevi.

Hah ... Lambe turah sudah siap mengintrogasinya. Rana hanya bisa mendesah pasrah.

***

Rana merasa hari yang ia jalani berlalu begitu cepat, baru saja kemarin ia menikmati weekendnya. Sekarang sudah hari senin saja.

Malam kemarin, Tepatnya malam minggu Raga menghubungi Rana. Sampai saat ini Rana tak membalas maupun menjawab telepon dari Raga.
Dia berpikir, Raga terlalu ngebet mungkin. Hem ... Rana heran, baru saja hitungan hari mereka bertemu, tapi Raga terlalu buru-buru.

Rana memang merasakan getaran aneh di hatinya, tapi ia tak harus bersikap memuakkan seperti karyawan wanita di kantornya. Cukup ia saja yang menatapnya tanpa perlu Raga membalas tatapannya, yang artinya cukup mengagumi dalam diam. Semenjak Nevi mengintrogasi Rana waktu itu,  Rana sering digoda oleh Nevi. sepertinya Nevi sangat senang dengan apa yang terjadi pada sahabatnya itu.

Pintu kamar Rana dibuka itu artinya ada yang masuk, siapa lagi kalau bukan Nevi.

"Ran, aku berangkat duluan ya? Kebetulan aku mau sarapan bersama dengan Aldo." Nevi duduk di karpet polos milik Rana, memperhatikan Rana yang sedang memakan mie instan ayam bawang.

"Hm, hati-hati di jalan." Rana mengatakan itu dengan nada datarnya serta mulut penuhnya.
Memang makanan yang paling bersahabat untuk anak kos seperti dia itu, ya mie Instan, selain membuat perut kenyang rasanya juga beragam.
Dan satu hal lagi, tubuh Rana memang terbilang ideal, tapi percayalah perut Rana itu seperti kantong kresek. Di mana pun dan kapan pun dia makan, tak akan mempengaruhi tubuhnya.
Rana juga tipe wanita yang tidak terlalu memperdulikan bentuk tubuhnya, yang dia perdulikan bukan bentuk tubuh, melainkan isi perutnya.

"Kalau butuh teman, kamu bisa menghubungi Raga, memintanya untuk menjemputmu seperti sore jum'at waktu kamu diantar olehnya." Nevi mengedipkan sebelah matanya menggoda Rana.

Rana hanya mendelik mengabaikan godaan Nevi.
Nevi terkikik pelan seraya beranjak dari duduknya, menepuk pelan bahu Rana setelah itu ia berlari kecil keluar dari kamar Rana.

Rana mendengus, ia jengkel sekali karena dari kemarin Nevi terus menggodanya.
Tanpa Rana sadari mie yang ada di mangkuk sudah berpindah semua ke dalam perutnya.
Rana masih belum kenyang, padahal dia sudah memasak mie instan dua bungkus. Memang ya, perut orang Indonesia tidak akan kenyang kalau belum memakan nasi. Huft ... Rana lupa belum memasak nasi pula.

Rana melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh pagi, sepertinya ia harus segera berangkat ke kantor. Nanti saja-lah lanjutkan lagi di kantin kantor, batinnya mengucap niat.

Semua peralatan kerjanya sudah ia masukkan ke dalam tas ranselnya berwarna hitam.
Rana bukan wanita tomboy, dia hanya menyukai hal yang lebih simple. Jika memakai tas ala perempuan sudah dipastikan bahunya jingjat sebelah.
Rana bukan tipe wanita feminim juga, dia hanya tidak menyukai berdandan yang berlebihan.
Hari ini Rana memakai kemeja biru dongker dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam.
Rana hanya memoleskan bedak tipis lalu lipblam supaya bibirnya tidak kering, sudah itu saja. Tak ada alis palsu karena alis Rana memang sudah terbentuk bagus dari sananya. Bulu mata pun sudah lentik dari lahir, pipi pun tanpa ia warnai sudah berwarna merah sendiri.
Rana memang sudah cantik dari lahir, mata bulat besar iris mata berwarna hijau gelap dan bentuk wajah oval, Rana sempurna.
Kali ini Rana mengikat rambutnya asal karena niatnya memang ia akan membereskan rambutnya nanti di kantor.

Motor matic Rana melaju membelah jalanan yang mulai padat, dari mobil mewah sampai sepeda biasa. Hari senin adalah hari menyeramkan nasional.

***

30 menit perjalanan, coba kalau pakai mobil, bisa-bisa satu jam baru sampai. Tanpa senyuman Rana melenggang masuk ke dalam gedung menggunakan id card miliknya. Rana sudah mengucap niat bukan? Bahwa ia akan melanjutkan sarapannya di kantin, masih sisa 30 menit.
Rana melihat ruangannya yang masih kosong, dahinya mengerut sesaat, lalu ia mengedik tak acuh berjalan menuju kubikelnya.

Setelah mendudukkan bokongnya, Rana menghela napas pelan. Ia sedikit memeriksa pekerjaannya sebelum pergi ke kantin.

"Hai."

Rana terkejut, ia melirik ke sumber suara. Rana terpaksa menarik bibirnya ke atas untuk tersenyum.

"Kenapa semua pesan dan teleponku tidak kamu balas satu pun?"

Rana tersenyum kikuk sedangkan Raga memicingkan matanya mengintrogasi.

"Ah itu ... Kenapa ya ..." Rana menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Itu ponsel saya sedang rusak, Pak."

Alis tebal Raga terangkat sebelah kemudian bibirnya tersenyum samar. "Oh Rusak ya," gumamnya yang segera diangguki Rana. "Tapi kenapa centang dua berwarna biru?" kali ini senyuman Raga terlihat berbeda.

Rana diam padahal hatinya panik setengah mati, ia merutuki kebodohannya yang tidak mematikan data seluler supaya benar-benar terlihat rusak.
Bodoh,bodoh,bodoh.

Ada pancaran geli di manik hitam milik Raga saat menatap Rana. "Aku tahu kamu orang yang cukup rumit, sudahlah sekarang temani aku sarapan."

Rana terpekur diam di tempat.
Raga meraih tangan kanan Rana, lalu memaksanya untuk berdiri.
Jemari besar Raga menggenggam jemari mulus milik Rana, mereka bergandengan berjalan beriringan, lebih tepatnya Raga yang menuntun Rana mengikuti langkahnya.

Rana menganga, pikirannya melayang. Habislah dia sekarang ... Batinnya meringis.

Takdir cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang