•Chapter 4•

73 9 0
                                    

Greecia POV

SATU hari tersisa, apa aku semestinya harus tetap berharap untuk masuk ke Akademi itu.

Pukul 09.00 AM

SUDUT kamar tidurku dipenuhi banyak botol kaca yang berserakan hampir disetiap ubinnya. Tampak pancaran cahaya menyala-nyala, bunyi ledakan kecil mengeludak telinga kala aku mencampur dua cairan kimia kedalam satu wadah.

Pintu kamarku berderit, seseorang coba melangkah perlahan memasuki kamarku. Aku memasang telinga, mengawasi pergerakannya dari suara derap kaki setiap tungkainya melangkah. Langkah kakinya berhenti, aku menghentikan kegiatanku sesaat, lantas memutar sendi leher dan kakiku mengarah padanya.

Ku lihat wanita berkaos kuning dan rok biru dongker itu mengerutkan dahi. Dia ibuku. Aku membidik sepasang matanya, ia menerawang sekeliling wajahku yang dipenuhi abu hitam.

Wanita itu berlacak pinggang sambil mendongak, memperlihatkan dagu padaku, "Apa yang kau lakukan? "

Aku mengalih pandangan, namun wanita itu malah bersikeras sampai dapat menatap sepasang mata biru milikku yang masih terus mencoba berpaling darinya.

"Ha?" aku salah tingkah, akhirnya menyerah. Ku putuskan untuk menatap wajahnya sembari menggaruk rambut-rambut kepalaku yang sama sekali tidak terasa gatal. Sebagai sampingan kulempar sedikit cengiran lebar sambil menampakkan gigi-gigi putih pada pandangan sang ibu.

Demi menunjukkan rasa hormatku padanya, aku membuka sebuah kacamata goggle berabu yang masih melekat dikedua pelipisku, lalu meletakkan benda itu diatas meja. "Latihan kimia, "jawabku singkat.

Tangan kiriku tergerak tiba-tiba, alhasil menyikut sebuah botol kaca penuh cairan kimia yang sedari tertadah diatas meja belajar kimia milikku.

Aku memasang telinga untuk coba mendengar setiap pergerakannya tanpa harus menoleh. Botol kaca itu terjungkir dan mengelinding disetitar meja. Isi cairan kimianya tumpah berceceran disana. Sedikitnya tercampur bahan kimia lain yang ikut tumpah dan menimbulkan efek ledakan kecil dan percikan cahaya kilat dikubik itu.

Aku dan ibu menggedikkan bahu singkat ketika mendengar frekuensi melengking dari ledakan cairan kimia yang merambat secepat mungkin--masuk menembus saluran eustacius kami.

Tanpa pikir panjang, akhirnya aku memincingkan sepasang mataku kehadapan meja, berharap semuanya baik-baik saja. Namun kenyataannya,

"Oh astaga... Aku terkejut setengah mati."

Kacamata goggle telah meleleh kepanasan, hanya menyisakan kepingan merah bara disekeliling perbatasan antara bagian yang hangus dengan yang utuh.

"Kesialan baru apa lagi yang menimpa diriku kini? aku sungguh ceroboh! Payah! "

Wajahku menahan panik, denyut jantungku berdebar kencang. Aku kembali menoleh pada sang ibu dengan keraguan penuh.

Aku menyimpul sebuah senyuman namun tampak kikuk. Mencoba sebisa mungkin menahan seribu satu kepanikan yang kini menikam diriku. Jika saja goggle itu milikku seorang, masalah ini tak akan terjadi.

Tampak pada bayangan kedua retinaku, ibu memutar bola mata lalu menyipitkannya kearahku. Ia menurunkan kedua lengan tangan yang sedari bertopang disisi pinggang keposisi bersidekap.

"Kacamata itu milik ayahmu bukan? " Wanita itu menaikkan satu alisnya pada pandanganku.

Sungguh aku semakin gemetar, senyum kikuk yang kulekukan pada bibirku kian pudar, lantas berubah datar. Butir-butir keringat dingin mulai mengalir membasahi kedua pelipisku. Aku mengulum bibir sebelum akhirnya memutuskan untuk membukanya kembali--sambil tergagap ragu.

Twin WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang