PROLOG

78 18 2
                                    

Ji Chang Wook, musim dingin 2015.

Suara sirine samar-samar menyadarkanku. Apa yang ku saksikan di depan mataku adalah hal yang nyata. Darah segar mengalir membasahi karpet dan mulai menutupi warna aslinya.

"Hyung.. Tolong aku..."

Ku tundukan kepalaku melihat laki-laki yang kalut dan bersujud di kakiku. Aku tak dapat berkata apa-apa sampai seorang wanita paruh baya masuk dengan tergesah. Nenek.

"Changwook-ka ku mohon....."

Bisa ku dengar suara wanita itu memelas dengan sangat.

"Ini bukan yang pertama Nek...." Ku buat suaraku selirih mungkin berharap masih ada belas kasihan dalam hati wanita itu untuk memihak-ku. Tatapan mata wanita itu mengilat penuh harap, ekspresinya seketika menjadi sangat sedih.

"Kau lupa pesan mendiang Ibu-mu?"

Sudah ku duga Nenek akan berkata begitu. Hilang rasanya kekuatan kakiku untuk berdiri, aku bersujud dan wajah-ku berhadapan dengan laki-laki yang sedari tadi menangis di kakiku. Rasanya seperti berkaca. Aku melihat wajahku sendiri.

"Hyung... Ku mohon...." Lagi kulihat seolah aku memohon kepada diriku sendiri.

Ku pejamkan mataku, menarik nafas sekuat mungkin untuk menghilangkan sesak yang mengikat dadaku.

Aku tak siap harus menanggung kesalahannya lagi!

Hatiku ingin meneriakan kalimat itu keras-keras, tapi mulutku terkatup rapat.

"Pergi." Ucapku pelan dengan sepenuh kekuatan menahan rasa sesak di dadaku.

Mendengar itu Nenek langsung memapah tubuh laki-laki itu yang masih berderai air mata.

"Terimakasih hyung..." setidaknya itulah yang ku tangkap dari gerakan mulut laki-laki itu.

Aku berusaha bangkit berdiri tepat disaat polisi mendobrak pintu kayu besar itu.

"Jangan bergerak! Taruh tanganmu di kepala!"

Ku lakukan sesuai yang diperintahkannya.

"Ji Chang Sook, kau kami tangkap karena telah melakukan pembunuhan."

Dan lagi hatiku ingin berteriak dengan keras, NAMAKU JI CHANG WOOK!

*****

Ji Chang Sook, musim dingin 2015.

Aku terduduk kalut di dalam ruang rahasia di rumah kakaku ini. Nenek berdiri terdiam di sudut ruangan, melihat ke arah luar melalui jendela. Rumah ini penuh dengan sirine polisi. Samar-samar ku dengar suara langkah polisi berlari menuju kamar itu. Tanganku bergetar hebat dan disaat itu juga aku melihat tanganku penuh dengan darah. Kepalaku seketika terasa sangat sakit. Aku tau. Ini bukan kali pertama aku mengorbankan dirinya.

Maafkan aku. Ingin sekali aku mengucapkan itu padanya, tapi ku tau kalimat itu tak akan pernah cukup membayar segala pengorbanannya untuk diriku.

Aku menoleh dan mendapati Nenek menangis tersedu masih dengan tatapannya terarah ke luar. Aku berdiri dan menghampirinya. Aku tau apa yang membuat Nenek menangis hebat.

Laki-laki itu yang raganya adalah ragaku digiring kasar oleh polisi. Laki-laki itu masih sempat menoleh ke arah kami, seolah tau kami mengamatinya. Dan dia masih bisa tersenyum. Ingin sekali rasanya aku bunuh diri sekarang juga. Harga diriku seolah tak dapat lagi ditimbang.

Karena kenakalan masa kecil, kami berdua diperlakukan berbeda. Hanya karena kakakku itu mengaku bahwa dia yang menyebabkan kebakaran rumah yang sampai menewaskan ayah kami, dunia seolah ikut memperlakukan kami berbeda. Tidak hanya dalam keluarga, di sekolah pun guru dan teman kami selalu membedakan kami. Padahal mereka tidak tau bahwa aku-lah penyebab sesungguhnya kebakaran itu.

Tapi kakakku selalu dengan sigap membela-ku. Entah dia secara tulus mengorbankan dirinya karena rasa cintanya pada ibu kami atau karena memang dia tau rahasia terbesarku.

Waktu berjalan cepat. Kini dia sudah mendekam di penjara dan dengan kekayaan kami yang berlimang kakakku hanya mendapat hukuman 3 tahun penjara, tentu saja setelah aku memberi uang kompensasi yang cukup besar pada keluarga wanita itu.

Aku mengunjunginya di penjara. Melihat dirinya berbalut seragam tahanan, aku tak sampai hati. Karena aku tau harusnya diriku yang ada di posisinya. Kami sama-sama terdiam untuk waktu yang cukup lama.

"Apa kabar hyung?" ku buat nadaku terlihat santai meski rasanya malu sekali melihat dirinya terduduk di balik kaca tebal ini.

"Jadikan ini kunjungan pertama dan terakhirmu. Aku tidak mau melihat wajahmu lagi." Air wajahnya berubah datar dan dingin. Aku tidak terluka dengan kata-katanya itu, karena aku pun akan melontarkan kata-kata yang sama bila aku di posisinya.

"Tapi hyung..."

"Dan tolong jangan sia-siakan hidupku."

Aku masih terduduk diam meski kakakku itu telah bangkit berdiri meninggalkan ruangan itu. Benar. Kami bertukar kehidupan, kami juga bertukar nama.

Sehingga sesungguhnya kehidupan-ku-lah yang terkunci di balik jeruji ini sedangkan kehidupan kakakku yang bebas.

"Tuan Chang Wook, waktumu telah habis."

*****

Im Yoona, musim dingin 2015.

Aku berusaha sekuat mungkin memberikan senyum terbaik pada setiap tamu yang datang. Meski rasanya ingin sekali mereka ku jadikan pelampiasan kesedihanku. Ingin ku peluk mereka sekuat-kuatnya dan menangis sekencang-kencangnya untuk mengumumkan rasa kehilangan-ku yang amat mendalam.

Aku kini sebatang kara. Ibuku satu-satunya yang menemani hari-hariku, harus pergi meninggalkanku.

"Yoona-ya... Tidak apa. Ada kami disini." Aku tau betul suara hangat itu. Satu-satunya suara yang membuatku kuat berdiri dan berlari memeluknya. "Nenek......" Aku membiarkan diriku larut dalam pelukannya yang hangat.

Maksudku sebatang kara itu benar. Benar-benar sendirian. Aku tidak punya lagi keluarga. Aku tidak mengenal siapapun kecuali ibu, ayah, dan kakakku. Dan kini  mereka semua telah meninggalkan aku.

Tapi aku punya Kakek dan Nenek angkat, yang merupakan atasanku di kantor, padahal aku baru memasuki bulan ke sembilan bekerja di tempat itu. Mereka sangat baik padaku dan menganggapku seperti cucu mereka sendiri.

Tapi hari ini aku melihat ada yang berbeda. Ada seorang laki-laki di samping nenek yang menatapku dengan ekspresi yang tidak dapat ku mengerti.

"Perkenalkan ini cucu kami." Kakek terlihat memaksakan perkenalan ini.

Aku tau sekarang makna tatapannya. Laki-laki itu tampil begitu rapi dan bersih. Tidak dapat ku pungkiri laki-laki itu sangat tampan. Sedangkan aku? Polos dan pucat tanpa sapuan makeup. Mungkin terlihat sangat kontras baginya.

"Ji Chang Wook.."

Aku menerima jabat tangannya, "Im Yoona.." Baru saja ingin menarik tanganku, Changwook menarik tubuhku mendekat ke arahnya.

Aku bisa merasakan jantungku berdetak. Bukan karena cinta pada pandangan pertama tapi karena aku tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu dari laki-laki.

"Ini bukan akhir segalanya. Tetaplah semangat." Laki-laki itu menutup kata-katanya dengan senyum dan saat itulah seolah kesedihanku sedikit luruh.

"Terimakasih." Meski begitu tetap saja realita kehilangan orang yang sangat ku cinta tidak dapat hilang begitu saja.

*****    


*picture from : https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fcdns.klimg.com%2Fresized%2F670x335%2Fp%2Fheadline%2Fdirumorkan-cinlok-dengan-yoona-snsd-ji--8fb8e3.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fwww.kapanlagi.com%2Fshowbiz%2Fasian-star%2Fdirumorkan-cinlok-dengan-yoona-snsd-ji-chang-wook-angkat-bicara-b39d6f.html&docid=c7Y939reaxH-pM&tbnid=VVRD2eE069sdYM%3A&vet=10ahUKEwj33M-GwJLfAhUWSX0KHasJCEwQMwg6KAQwBA..i&w=670&h=335&safe=strict&bih=615&biw=1366&q=ji%20chang%20wook%20yoona&ved=0ahUKEwj33M-GwJLfAhUWSX0KHasJCEwQMwg6KAQwBA&iact=mrc&uact=8

THE SEASON LOVE STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang