I

1.3K 110 8
                                    

Kedua kaki mungil itu mengayun perlahan. Sementara sepasang netranya menatap ke arah jalanan yang terlihat ramai mengingat sekarang adalah waktunya para karyawan maupun pekerja kantor lainnya untuk pulang.

Langit sudah mulai berwarna jingga saat ia mendengar suara ketukkan sepatu mendekatinya. Namun sama sekali tidak ia hiraukan bahkan saat sang empunya langkah kaki tadi mengambil tempat untuk duduk, tepat disamping kirinya.

Keduanya cukup lama terdiam. Menikmati keheningan dengan pemikiran masing-masing. Tak ada yang berniat membuka percakapan walau hanya satu patah kata. Hingga yang lebih tua berdeham sejenak. Memperdengarkan suara beratnya.

“ Apa lagi kali ini? “ pertanyaan itu terlontar. Membuat anak yang berada di sampingnya membuang muka. Enggan melihatnya, dan juga tak mau menjawab. Toh tanpa menjawabpun, ia yakin jika pria yang bertanya itu hanya sekedar basa-basi.
Pria itu tersenyum melihat tingkah anaknya. Tangan kanannya terangkat, mengusak gemas rambut anak lelakinya.

“ Tidak perlu dipikirkan. Ayah yakin kau bisa melewati semuanya, “ kalimat itu membuatnya begitu tenang. Seakan berkata jika semuanya akan baik-baik saja.

Pria wibawa itu merangkul anaknya, sementara kedua matanya menerawang jauh. Tapi senyum penuh dengan kelembutan itu tak hilang dari wajahnya.

“ Dengar. Saat kecil dulu, ayah tidak seperti dirimu. Ditinggal kedua orang tua bahkan sebelum kau melihatnya. Menurutmu bagaimana perasaan ayah? “

Sang anak perlahan mendongak. Menatap wajah tampan sang ayah yang tak pernah hilang walau usianya sudah tua. Berpikir sejenak. Pasti hidup ayahnya sangatlah berat. Sedari bayi hingga beranjak semakin dewasa, dibesarkan oleh orang kepercayaan sang kakek dan nenek. Disaat ayahnya membutuhkan kasih sayang orang tua, beliau sama sekali tidak bisa mendapatkannya.

“ Hei! Ayah tidak perlu dikasihani, jadi hentikan ekspresimu itu! “

Anak kecil itu mengaduh saat keningnya disentil oleh jari ayahnya.

“ Ingatlah pesan ibumu sebelum ia meninggalkan kita satu minggu yang lalu. Jadilah kebanggannya, buat ibumu tersenyum diatas sana, “ Sang ayah mengarahkan telunjuknya ke arah langit yang mulai menghitam. Pertanda malam akan menggantikan siang.

“ Jadi Minghao, ayo kita pulang dan makan malam. Bibi Xian sudah membuat makanan kesukaanmu, “

Tangan hangat itu membantu Minghao -anaknya- untuk berdiri. Anak lelaki mungil berumur 10 tahun itu berjalan perlahan, mengikuti sang ayah yang merangkulnya sambil sesekali melontarkan nasihat. Membuat senyum Minghao kembali tercipta, bahkan sesekali menjawab setiap pertanyaan ayahnya walau hanya beberapa kata.

Keduanya terus berjalan, meninggalkan taman yang sudah mulai sepi, dan juga dua pasang mata tajam dari atas gedung tinggi yang tak jauh dari sana.

“ Anak yang malang, “ salah satu dari keduanya berbicara. Memandang datar ayunan yang tadi ditempati oleh anak imut itu.

Lelaki disampingnya yang lebih tinggi berdecak. “ Jadi dari tadi kau berdiam disini hanya untuk melihat interaksi antara ayah dan anak itu? “ sebelah alisnya terangkat.

Tak ada jawaban sama sekali. Bahkan temannya itu sama sekali tak mengalihkan pandangannya sedetikpun. Membuatnya mendengus kesal.

[JunHao] The Darkness WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang