Menuju Ujung Dunia

40 0 0
                                    

Menuju Ujung Dunia
oleh Tinta Angkara

Jalanan sedikit lebih sepi dari biasanya saat jam kerja. Di depan gedung bank ternama Indonesia itu terlihat satu mobil Pos Indonesia terparkir dengan mesin menyala. Di bangku kemudi, Catur menggenggam erat setir mobil. Dia terlihat begitu ketakutan. Terlebih lagi saat mendengar suara tembakan dari dalam gedung. Suaranya tidak begitu keras karena jaraknya yang jauh, tapi itu sudah membuat jantung Catur berdegup kencang. Wajah pucat Catur mulai berkeringat.

Tak lama kemudian, Eka dan Panca dengan ransel besar di punggungnya bergegas mengangkat tubuh Dwi yang terluka masuk ke dalam mobil. Mereka terlihat sangat kesusahan. Catur semakin panik dan langsung menancap gas seketika mereka bertiga sudah masuk mobil.

"Tunggu!" teriak Eka sambil membuka topengnya, "Mereka masih di dalam."

"Berhenti!" teriak Panca sambil terus menekan luka di perut Dwi.

Mobil terus melaju, Catur sama sekali tidak menghiraukan teriakan mereka.

Dari dalam gedung suara tembakan makin terdengar keras. Sambil memegang AK47 dan ransel kecil di punggungnya, Tri bergegas keluar dari gedung sambil terus melihat ke arah gedung. Lalu Sapta menyusul sambil berkali-kali menembakkan shotgun ke arah gedung memastikan tidak ada yang mengikutinya.

"Sapta ..., kita ada masalah." kata Tri.

"Sial! Anjing! Mereka meninggalkan kita," umpat Sapta setelah sadar mobilnya tidak ada.

Jalanan menjadi ramai karena melihat mereka berdua terus menembakkan senjata di jalanan. Banyak mobil yang ditinggalkan begitu saja di jalan karena pemiliknya takut. Hal ini membuat kemacetan. Apalagi orang-orang di dalam gedung mulai berhamburan keluar. Tapi ini justru menguntungkan Sapta dan Tri. Polisi yang mengejar mereka agak terhalangi orang-orang itu. Di antara keramaian itu, Asih menemukan sebuah motor bebek modifan tergeletak begitu saja. Sementara Sapta terus berlari.

"Cepat naik!" teriak Tri saat bisa menyusul lari Sapta dengan motor bebek tadi.

Dalam van Panca melepas topengnya dan juga topeng Dwi. Topeng-topeng mereka terbuat dari kain hitam, jadi Panca bisa menggunakannya untuk menutupi luka Dwi. Sementara Eka mulai marah pada Catur.

"Berhenti! Atau kuledakkan kepalamu." ancam Eka sambil menodongkan pistol FN ke kepala Catur.

Catur pun menghentikan mobilnya. Dia terlihat sangat pucat dan basah kuyup oleh keringatnya sendiri. Mereka beruntung jalanan tempat mereka berhenti sangat sepi, jadi tidak ada yang memperhatikan.

"Percuma saja, sudah terlambat, kita akan mati jika harus kembali ke sana." ucap Panca.

"Tapi A ... Tri dalam bahaya." Eka hampir salah mengucapkan nama Tri karena emosi.

Panca diam sejenak lalu mencoba menenangkan Eka, "Jadi Tri pacarmu? Apa pacarmu wanita yang lemah dan bodoh?"

"Apa kau bilang?" Eka tidak terima.

"Jawab saja!" Ternyata Panca lebih pintar menggertak.

"Tidak, tentu saja tidak, dia lebih pintar dari kita semua." Sepertinya Eka mulai mengerti maksud Panca.

"Jika dia memang pintar, dia akan menemukan jalan, kita sebaiknya menunggu di markas. Tri dan Sapta juga harus melakukan hal yang sama," jelas Panca.

"Tapi ... sebelumnya kita ... kita harus mengganti mobil dulu," ucap Catur sedikit gagap.

Eka akhirnya bisa sedikit tenang dan mereka pun meneruskan perjalanan ke suatu gudang tak terpakai yang mereka sepakati untuk berkumpul dan menjalankan rencana selanjutnya. Gudang tersebut juga merupakan markas mereka untuk menyiapkan rencana-rencana mereka selama seminggu lalu.

Di atas motor, Tri dan Sapta melepas topeng mereka dan membuangnya begitu saja.

"Ada banyak mobil, kenapa kau pilih motor butut ini?" tanya Sapta sambil memeluk erat Tri karena Tri begitu kencang melaju motornya.

"Kau diam saja, pakai motor lebih mudah menghindar," jawab Tri sambil terus menikung-nikung masuk ke dalam lalu lintas untuk menghindari kejaran polisi.

"Tri ..., ada polisi pakai trail." Sapta memberitahu.

"Pegangan lebih erat!" perintah Tri. Cara dia menaiki motor juga semakin menggila.

Eka dan lainnya mengganti mobil mereka dengan mobil van lain berwarna biru bertuliskan salah satu nama perusahaan ekspedisi yang sudah mereka siapkan sebelumnya. Mereka lalu membakar mobil pos untuk menghilangkan jejak sebelum meneruskan perjalanan.

"Jalan!" perintah Panca pada Catur.

"Sini biar gantian aku yang memeganginya." Eka bergantian dengan Panca untuk merawat Dwi.

"Ee ... Eka ...." Dwi bicara sambil menahan sakit.

"Tenang, jangan banyak bergerak!" ucap Eka sambil terus merawat luka Dwi.

"Ka ... kalau aku mati, apa bagianku akan hilang?" tanya Dwi.

"Aku tidak tahu, semua terserah Sunya." jawab Eka.

"Meski Sunya tidak mengatakannya, sudah pasti Sunya akan membagikan pada yang hidup saja. Jadi kau bertahanlah, jangan mati." jelas Panca.

"Hik ... anakku ...." Dwi sangat sedih mendengarnya, seakan dia yakin akan mati.

"Tenanglah, nanti akan kusisihkan bagianku untuk anakmu. Berikan saja alamatnya." kata Eka.

Dwi tidak berkata apa-apa lagi, hanya memberikan sebuah kunci loker. Namun Eka tahu persis jika alamat yang dia tanyakan ada di dalam loker milik Dwi yang ada di markas.

Tri melaju motor dengan sangat lincah memasuki gang-gang sempit, jalan setapak, hingga ke tempat yang bukan jalan pun ia lewati. Beberapa kali mereka hampir tertangkap namun akhirnya mereka bisa lepas dari kejaran.

"Kalau aku mati, akan kubunuh kau, Tri," ancam Sapta.

***

Menuju Ujung DuniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang