Surat Iwan

6 0 0
                                    


Mobil Impala itu sungguh terlihat sangat indah.

"Wow ...," Asih kagum.

"Daripada memperbaiki mobil kalian, lebih baik beli saja mobilku ini," ujar montir.

Sapto pun mengambil ransel lalu menumpahkan separuh isinya ke lantai.

"Segini cukup?" tanya Sapto.

"Ya ... Ya, cukup banget. Tapi aku harus menyiapkannya dulu. Bannya harus diganti, dan tentunya kalian akan butuh bensin full kan?" Montir itu terlihat sangat senang melihat uang yang Sapto berikan lebih dari cukup.

"Berapa lama?" tanya Sapto.

"Nggak sampai sejam. Kupastikan mobil ini dalam kondisi prima. Kalian benar-benar membawa keberuntungan. Tunggu saja di sebelah, silahkan ambil makanan atau apapun sesuka kalian." ucap montir itu.

Ternyata di ruang sebelah ada sebuah cafe dan mini market kecil. Asih duduk ke sebuah kursi untuk istirahat. Sapto mengambil beberapa makanan dan minuman dari minimarket dan dibawanya ke depan Asih.

"Hey, kenapa kau sedih?" tanya Sapto.

"Aku baru membunuh Reno, bagaimana aku nggak sedih?" Asih balik bertanya.

"Pertama, Reno itu bajingan. Kedua, aku yang membunuhnya, bukan kamu." jelas Sapto sambil makan.

"Ya, tapi aku yang menyuruhmu."

"Bagaimanapun juga aku akan membunuhnya tanpa kau suruh. Cuma ... mungkin aku lebih memilih membunuh Lena dulu baru Reno."

"Aku ... aku hanya kecewa saja, selama ini Reno membohongiku. Dia selalu terlihat baik. Bahkan dia repot-repot mempertaruhkan nyawanya hanya untuk mengambil alamat anaknya Iwan. Dia sangat peduli dengan orang lain selama ini." Asih menjelaskan.

"Tidak juga, jika dia begitu peduli, kenapa surat ini masih ada padaku, dia bahkan tidak sadar surat ini masih ada padaku."

"Hah, mungkin kau benar, dia hanya berpura-pura peduli." kata Asih.

"Selama ini dia sudah mengkhianati kita, mungkin dari awal mengenalmu dia sudah mengkhianatimu. Kau anak orang kaya, mungkin sebenarnya memang kekayaanmu yang membuat dia tertarik padamu. Saat membuat janji dengan Iwan, dia tidak benar-benar berniat untuk menepatinya karena tahu Iwan pun akan mati. Dia juga sama saja dengan Lena, dia lebih memilih uang yang lebih besar dari lukisan itu. Saat di markas, aku curiga dia mendapat kabar dari Lena kalau lukisannya masih ada pada salah satu dari kita. Itu kenapa dia mengarahkan Wendi untuk menemukan bomnya. Padahal dari awal dia mau kabur sendiri dan meninggalkan kita semua mati di sana. Buktinya hanya mobil dia saja yang sudah siap. Terus saat di pabrik tadi, kau pikir bagaimana Lena bisa mengetahui jika bukan Reno yang memberitahu? Dari awal Reno sama sekali tidak peduli dengan kita.

"Dan aku sepertinya lebih memiliki jiwa peduli, jadi aku ingin membaca isi surat ini."

"Haha ... itu lebih ke kepo daripada peduli."

"Mau aku bacakan?"

"Silakan ..."

"Untuk anakku Alisa, maaf papa tidak bisa menemuimu. Namun suatu saat papa pasti akan menemuimu lagi. Bukan esok, bukan bulan depan, maupun tahun depan. Tapi percayalah, kita akan bertemu lagi. Saat ini papa ada di tempat yang sangat jauh bersama teman-teman papa yang sangat ramah. Mereka sangat lucu-lucu. Nama mereka seperti angka-angka Sansekerta yang pernah Alisa ajarkan pada papa. Papa mungkin pernah jadi guru SD, tapi bagi papa, Alisa adalah guru papa yang paling genius.

Sunya teman papa paling dewasa, dia seperti nenek ketika marah. Eka orang yang baik, tapi sepertinya dia suka berbohong, Alisa jangan jadi orang seperti dia ya? Terus Dwi adalah sahabat papa, dia bukan orang baik, dia suka melakukan tindak kriminal, namun dengan papa dia sangan baik, bahkan ia yang membantu papa mengumpulkan uang ini. Jangan khawatir, uang ini uang halal. Papa dan teman-teman memulai bisnis perbankan disini, ayah bisa menghasilkan uang yang banyak di sini. Jadi jangan khawatirkan papa.

Tri satu-satunya teman wanita papa, dia cantik dan lugu. Tenang saja papa tidak akan jatuh cinta dengannya. Tri pacarnya Eka, dan papa juga masih setia dengan almarhumah ibumu. Papa juga berteman dengan seorang pembalap, namanya Catur. Alisa pasti akan senang melihat mobil balapnya. Apalagi saat dia melaju dengan sangat cepat. Ada juga teman papa namanya Panca, dia sangat ahli dengan komputer. Dia mengajariku membuka akun facebook Alisa. Papa sangat senang bisa melihat foto-foto Alisa di sana. Alisa sangat cantik, dan sudah besar sekarang. Alisa jaga diri baik-baik ya, jangan mudah ditipu para lelaki.

Ada teman papa, namanya Sat, dia tidak banyak bicara. Papa juga tidak begitu mengenalnya. Mungkin dia agak kelainan. Dan yang terakhir teman papa yang namanya Sapta. Dia sangat galak, namun kadang tingkahnya juga lucu. Papa pikir dia sebenarnya orang pintar, baik, dan memiliki empati yang tinggi. Hanya saja dia terlalu menyembunyikannya. Tapi papa bisa lihat dengan jelas, bahkan papa tahu persis kalau Sapta mencintai Tri. Begitu juga sebaliknya, Tri juga diam-diam menaruh hati pada Sapta. Jika tidak ada Eka, papa yakin mereka akan jadi pasangan serasi.

Alisa sayang, papa bahagia di sini bersama teman-teman papa. Papa harap Alisa juga bahagia di sana.

Papa sungguh ingin melihatmu masuk ke SMA, perguruan tinggi, dan menemanimu saat Alisa berhasil menjadi Profesor ahli sejarah seperti cita-citamu. Meski papa tak bisa melakukan itu sekarang, papa harap uang ini bisa mengantarmu menuju apapun cita-citamu dan membiayai seluruh biaya rumah sakit sampai Alisa sembuh. Papa yakin Alisa bisa menggunakan uang ini lebih bijaksana dari papa.

"Selamat tinggal Alisa, peluk dan cium dari papa yang selalu merindukanmu. Papa." Sapta membaca surat Iwan sampai terbawa suasana. Asih pun sampai meneteskan air mata.

"Surat yang indah," ujar Asih.

"Huft..., sebaiknya aku mengirimkan surat dan satu ransel ini padanya. Kurasa sekarang jadi tanggung jawabku."

"Ya, mungkin montir itu tahu di mana kau bisa mengirimnya di sekitar sini."

Sapto pun pergi ke ruang dimana montir itu bekerja.

"Hey, kau tahu di mana perusahan ekspedisi di dekat sini?" tanya Sapto.

"Mau ngirim paket?" Si montir balik bertanya sambil memasang ban mobil.

"Iya,"

"Taruh saja disitu, jangan lupa alamatnya ditulis."

"Maksudnya?"

"Bung, ini bengkel, cafe, mini market, dan juga ekspedisi," kata si montir dan ia pun berhenti mengerjakan mobil untuk ngobrol dengan Sapto.

"Serius?" Sapto melihat ke sebuah banner bertuliskan Hasta Rejeki, Bengkel, Cafe, Mini Market, dan Ekspedisi.

"Taruh saja di situ, besok aku suruh kurir mengirimnya."

"Jadi, kau yang punya ini semua?" tanya Sapto.

"Ya, cuma aku memang suka jadi montir, ini hobiku dari dulu."

"Haha ..." Sapto melihat lagi nama di banner tadi.

"Kenapa tertawa?"

"Nggak apa-apa, jadi kau anak ke-delapan ya?"

"Yup, benar sekali. Bagaimana kau tahu?"

"Namamu ..." sambil menunjuk banner.

"Haha, Hasta, iya itu namaku. Jadi mengirim paket?"

"Oh, iya ..."

"Masukan saja di kardus itu, aku tak peduli apa yang kau kirim, langsung saja segel lalu tuliskan alamatnya di atas," kata Hasta sambil kembali memasang ban mobil.

Sapto pun memasukkan surat dan satu tas ransel ke dalam kardus, menyiapkannya untuk dipaketkan ke anak Iwan. Mobil pun sudah siap pakai, tas-tas dan peralatan tempur juga sudah dipindahkan ke mobil Chevy yang baru.

"Ini surat-suratnya," kata Hasta sambil menyodorkan satu amplop besar berisi surat-surat kendaraan.

"Ya, terimakasih," ucap Sapto.

"Mobilmu yang lama bagaimana?" Hasta bertanya.

"Untukmu saja," jawab Asih.

"Jangan lupa paketnya dikirimkan," pesan Sapto sambil menancap gas.

Hasta hanya memandang mereka pergi sambil tersenyum.

***

Menuju Ujung DuniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang