Impala '60

9 0 0
                                    


Sambil mendekap Asih, Wendi berjalan mundur perlahan menjauhi Sapto dan Reno.

"Terimakasih sudah memperbaiki mobilku," kata Wendi.

"Wendi, tenang! Lepaskan Asih!" pinta Reno sambil menurunkan senjatanya. Sementara Sapto masih menodongkan AK47-nya dengan tenang ke arah Wendi.

"Tenang Sapto, kau sudah berjanji. Jangan membunuh lagi!" Asih mengingatkan Sapto akan janjinya.

"Ya, sebaiknya kau dengarkan Asih. Jadilah anak baik! Sekarang turunkan senjatamu!" perintah Wendi.

"Turuti saja yang dia katakan, Sapto!" perintah Reno sambil meletakkan pistolnya ke lantai.

"Berikan kunci mobilnya!" Wendi memaksa.

"Sapto, berikan saja kuncinya!" teriak Reno.

Sapto tak bergerak sedikitpun.

"Sapto, lihat aku, lihat aku!" pinta asih sambil melonggarkan dekapan Wendi, "kau percaya padaku kan? Ambil kuncinya lalu lepar kesini!"

"Tapi ..." kata Sapto sambil mengambil kunci mobil.

Reno bingung karena tidak tahu apa yang Asih rencanakan.

"Ayo cepat lempar saja!" Wendi mulai tidak sabar.

"Lempar kuncinya dan lepaskan janjimu!" teriak Asih.

"Baiklah," ucap Sapto sambil melempar kunci itu. Saat pandangan Wendi teralihkan Asih menghantamkan sikutnya ke ulu hati Wendi dan bergegas menjauh. Sapto dengan sigap menembakkan senapannya tepat ke kepala Wendi. Namun sayang pistol Wendi pun meledak. Asih pun terjatuh.

"Tidak!!!" teriak Reno berlari meraih Asih.

"Aku nggak apa-apa, cuma kena bahu." ujar Asih.

Sapto bergegas mengambil peralatan P3K di dasbord mobil lalu diberikannya pada Reno agar bisa membalut luka Asih.

"Lukanya tembus, ini bagus karena tidak ada peluru terjebak di dalam," kata Reno sambil membalut luka Asih.

"Maafkan aku," kata Sapto.

"Tidak, aku yang meminta maaf membuatmu melanggar janji." Asih tersenyum.

"Emm ... Janji itu sangat susah. Begini lebih baik." Sapto pun ikut tersenyum.

"Yang penting kau melakukannya untuk menolong nyawaku. Itu bukan pembunuhan." ujar Asih.

"Ya, itu penyelamatan, terimakasih Sapto," ucap Reno.

"Dan lihat, kita mendapatkan lukisannya," kata Asih sambil menunjuk lukisan yang tergeletak di samping mayat Wendi.

"Ya, kita mendapatkannya." Sapto memungut lukisan itu.

Waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam. Setelah selesai membalut luka Asih, mereka memutuskan melanjutkan perjalanan. Namun baru beberapa meter mereka keluar, polisi sudah mengepung mereka. Seakan tak percaya, setelah susah payah mengecat mobil, ternyata semua sia-sia saja. Tanpa disangka, seseorang keluar dari salah satu mobil polisi. Orang itu ternyata adalah Lena a.k.a Sunya.

"Nenek peyot, ternyata dia bukan mantan polisi. Dia masih polisi," ujar Sapto.

"Dengan jabatan tinggi." Asih menambahkan.

"Tenang, semua akan baik-baik saja," kata Reno dingin.

"Aay, apa maksudmu ...?" Asih bingung dengan Reno.

"Selamat tinggal, Ay..." ucap Reno sambil mengambil tabung kertas berisi lukisan itu, "Sapto, seharusnya kau tak mencurinya lagi dari Lena." Reno keluar sambil membawa lukisan itu.

"Ay, kau mau kemana? Ay ... Ay ... Reno ...!" Teriakan Asih tak dihiraukan.

Reno perlahan menghampiri Lena. Lena pun menyuruh anak buahnya tidak menembak.

"Asih, pindah ke kursi kemudi!" perintah Sapto lirih.

"Kenapa dengan Reno? Ada yang tidak beres." kata Asih sambil pindah ke kursi kemudi.

"Tentu saja, kekasihmu baru saja mengkhianatimu," jelas Sapto.

Reno memberikan lukisan itu kepada Lena. Dia melihat ke arah mobil sambil tersenyum jahat dan melambaikan tangan. Lena pun meminta anak buahnya bersiap.

"Kau masih ingat darimana Wendi muncul tadi?" tanya Sapto.

"Ya," jawab Asih dengan wajah penuh amarah sambil terus melihat ke arah Reno.

"Itu jalan keluar kita, masukkan gigi R, dalam hitungan ketiga langsung tancap gas." Sapto memberi rencana singkat.

"Tidak! Aku yang menghitung, dalam hitungan ketiga, kau bunuh Reno." Asih benar-benar kecewa dengan Reno.

"Reno atau Lena?" Sapto memastikan.

"Persetan Lena, bunuh Reno. Kuyakin bidikanmu bisa diandalkan."

"Tentu saja," ucap Sapto sambil membidikkan senapannya ke kepala Reno.

Lena perlahan mendekati mobil, sepertinya dia tidak bisa melihat ke dalam mobil karena kaca riben.

"Satu, dua, tiga!" Asih mengucapkannya dengan cepat.

Sapto pun melepaskan tembakannya bersamaan dengan Asih menancap gas. Peluru yang Sapto tembakkan mengenai telinga Lena dan terus melesat sampai menembus mata Reno. Pasukan Lena pun bertubi-tubi melepas tembakan. Kaca mobil pun pecah sementara Asih dan Sapto menunduk menghindari peluru yang beterbangan. Mobil melaju ke belakang kembali masuk ke pabrik. Meski sudah remuk, kaca depan masih menempel dan menghalangi pandangan. Asih bergegas menendangnya. Lalu terus melaju melewati jalan keluar lain. Lena dan pasukannya kembali masuk ke mobil mereka lalu mengejar Asih dan Sapto.

Kejar-kejaran berlangsung beberapa lama. Sapto berkali-kali menembakkan senapan ke arah mereka. Beberapa mobil polisi pun hancur dan akhirnya mereka tak mengejar lagi. Asih dan Sapto akhirnya bisa selamat. Mereka pun meneruskan perjalanan mereka. Namun sebelumnya mereka harus mencari bengkel yang aman untuk memperbaiki mobilnya. Karena sudah malam, mereka hanya bisa menemukan bengkel yang sudah tutup. Sapto harus menggedor-gedor pintu bengkel. Sepertinya pemiliknya sedang tidur.

"Ya ... ya ... ya ...!" teriak si montir dari dalam.

Tak selang berapa lama, akhirnya si montir pun membukakan pintu.

"Tolong perbaiki mobil kami," pinta Sapto.

"Kami sudah tutup," kata si montir yang sekaligus pemilik bengkel tersebut.

"Tolong," kata Asih sambil menyodorkan satu gepok uang.

Sang montir pun akhirnya mau, namun setelah mobil masuk ke bengkel dan melihat kondisinya. Si montir geleng-geleng kepala.

"Ini akan memakan waktu satu bulan paling cepat," kata montir.

"Tak perlu bagus-bagus, yang penting kami bisa sampai ke pelabuhan pagi ini," jelas Sapto.

"Itu tidak mungkin, mesinnya saja bocor, kalian beruntung bisa sampai kesini." Si montir menjelaskan.

"Ini aku tambah," Asih memberinya dua gepok lagi. Jadi semua tiga gepok.

"Sepertinya kalian orang kaya, kalian punya puluhan gepok?" tanya si montir.

"Apa!! Itu pemerasan puluhan gepok hanya untuk memperbaiki mobil!" Teriak Sapto.

"Bukan untuk memperbaiki mobil, tapi untuk ini." Si Montir menunjukkan sebuah mobil Chevy Impala tahun '60 berwarna merah yang sangat mulus.

***

Menuju Ujung DuniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang