Kekasih

11 0 0
                                    


Asih dan Sapto pun melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan.

"Aku hanya menurut dengan Peta, tapi sebenarnya pelabuhan mana kita menuju?" tanya Sapto.

"Pelabuhan Ujung, Surabaya," jawab Asih.

"Hmm ... kita akan berkendara sepanjang malam."

"Mungkin juga akan melewati pagi."

"Yah, kuharap pagi nanti kita masih bernafas."

Mereka terus melaju kendaraannya, sempat beberapa kali mereka bergantian menyetir.

Mentari belum juga muncul, namun cahaya lain yang tidak mereka harapkan kembali muncul. Cahaya kerlap kerlip lambu sirine polisi mengejar mereka dari belakang. Mereka kembali berperang sekuat tenaga. Kali ini mobil-mobil polisi yang mereka lawan jauh lebih banyak. Asih yang mengemudi saat itu, sementara Sapto terus menembaki polisi dengan amunisi yang semakin menipis. Asih tertembak di bagian perut, namun ia terus bertahan mengemudikan mobil.

"Asih, kau tidak apa-apa?" tanya Sapto.

"Jangan khawatirkan aku, singkirkan saja mereka."

"Bertahanlah, akan kubunuh mereka semua."

Sapto semakin membabi buta. Mungkin dalam hati, dia sebenarnya sudah putus asa melawan banyaknya polisi itu. Beberapa kali Sapto tertembak, mulai dari tangan, bahu, pipi, hingga perut. Sampai akhirnya amunisi yang ia miliki habis. Sapto juga sudah kehabisan akal, dia membuang senapannya. Dia hanya terdiam dengan separuh badannya di luar jendela.

Mentari mulai muncul, Sapto memandang ke ufuk timur memandang sejenak keindahan cahaya itu meski di tengah-tengah keterpurukannya. Sampai tiba-tiba satu peluru melesat ke dada kiri Sapto dan terjebak di dalamnya. Sapto tidak terjatuh, sambil menekan lukanya Sapto masuk kembali ke dalam mobil dan merebahkan tubuhnya.

"Sapto, jangan tinggalkan aku!" teriak Asih.

"Tidak Asih, aku takkan meninggalkanmu," ucap Sapto lemah.

"Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi."

"Kau harus tetap hidup, menyerah saja pada mereka, dan kembali ke orang tuamu."

"Aku bukan kabur, mereka yang mengusirku, aku tak bisa kembali." Asih terpaksa berhenti karena di depan sudah banyak sekali polisi menghadangnya.

"Menyerah sekali ini saja untuk hidup. Namun jangan pernah menyerah setelahnya."

"Kata-katamu membuatku bingung."

"Haha ..."

"Kenapa kau masih bisa tertawa?"

"Kau ingat kata-kataku? Aku berharap waktu itu, jika pagi ini kita semoga masih bernafas. Dan disinilah kita, masih bernafas. Bahkan mentari begitu hangat menyambut kita. Lihatlah, indah kan?"

"Ya, kau benar, aku jadi teringat suratnya Iwan. Dia menceritakan kita semua dengan caranya sendiri," ucap Asih ambil meneteskan air mata.

"Dia bahkan tahu jika aku mencintaimu."

"Dia juga tahu jika aku menaruh hati padamu."

Sapto hanya terdiam saja.

Sapto, Sapto ..." Asih memanggil-manggil Sapto sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya, namun Sapto tak merespon sedikitpun, dia sudah tak bernyawa lagi.

Di antara puluhan polisi di depan Asih, dari kejauhan terlihat Lena keluar dari salah satu mobil polisi, samar terlihat juga ia meletakkan lukisan itu di atas dasboard mobil. Asih mencoba mencari-cari senjata berharap masih ada meski hanya satu peluru tersisa. Namun Asih hanya bisa menemukan sebuah pelontar granat dan hanya ada satu granat tersisa.

Asih pun menggenggam pelontar granat itu lalu keluar dari mobil. Dia melihat ke sekeliling, dia benar-benar sadar dia memang sudah terkepung, puluhan polisi di samping depan dan juga belakang sudah siap siaga mengarahkan senapan mereka ke arah Asih. Pilihannya hanya menyerah atau mati. Asih memandang tubuh Sapto sejenak, lalu memandang mentari terbit untuk terakhir kali. Asih pun bergegas berjalan ke depan menuju ke arah Lena berada, kemudian berhenti. Dia sadar jika melangkah sekali lagi dia akan dihujani peluru. Lena terlihat bingung dan hanya bisa menerka-nerka apa yang akan dilakukan Asih.

Tanpa berfikir lebih lama lagi, akhirnya Asih menembakkan granat ke arah Lena. Semua menjadi berantakan. Sebagian polisi mencoba berlari menghindari granat, sebagian lagi menembaki Asih bertubi-tubi. Sebagian lagi seakan hanya terdiam seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tubuh Lena hancur terbakar bersama lukisan kesayangannya. Entah lukisan itu asli ataupun tidak, tak ada lagi yang akan mempersoalkan. Seluruh dunia tahu lukisan itu telah menjadi abu bertahun-tahun yang lalu. Dan kini ia menjadi abu lagi, dari abu kembali ke abu.

Seperti kenangan-kenangan indah manusia, jika terlalu lama kita kenang, itu hanya membuatnya mengusang tak berarti. Bersama lemahnya ingatan kita saat menua kenangan-kenangan pun memudar hilang. Lebih baik habis terbakar, itu membuatnya menjadi abadi, meski hanya dalam sebuah cerita. Cerita yang abadi.

Semua selesai sudah, meski tak seperti yang diharapkan, mungkin ini yang terbaik. Semua akan mati pada akhirnya, polisi korup biarlah terbakar, Asih pun bisa tenang bersama kekasih barunya di alam sana. Meski perih peluru-peluru tajam menghujani tubuhnya. Ia kan rela, mereka pasti kan rela. Lalu siapakah kita berani meramalkan kemana mereka yang mati karena cinta.

---Tamat---

"Menuju Ujung Dunia"
oleh Tinta Angkara
Negeri Saba, 20 Maret 2018

© Copyright 2018, All Rights Reserved. | Powered by Ceentina.com

Menuju Ujung DuniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang