Dia Datang...

61 7 2
                                    

... Part 2 ... Stasiun Raja Lama menyambut kedatangan Bima dan Dinda. Dengan wajah muram, keduanya keluar dari gerbong kereta lalu berjalan ke arah luar. Di depan stasiun ada pemandangan yang cukup unik. Berbeda dengan stasiun pada umumnya yang ramai dengan pengunjung atau pedagang. Di Raja Lama hanya terlihat beberapa bapak yang duduk di atas becaknya saja.

"Gila, nih kota. Udah berasa kayak di abad pertengahan aja," keluh Bima.

"Nggak ada sinyal, orang jualan jarang, ditambah satu lagi, becak! Kok rasanya pengen balik ke Javana aja ya," tambah Dinda.

Di Javana yang memang lebih maju daripada Raja Lama memang memanjakan penduduknya. Apalagi Dinda yang terbiasa dengan roda bisnis cepat. Melihat hal yang seperti ini membuat dirinya membayangkan hidup dengan kecepatan siput.

"Gilak, ini dimananya sih makna rekreasinya? Jalan aja masih banyak tanahnya. Bisa rusak entar sepatu-sepatuku," omel Dinda.

"Salah sendiri ke sini bawa sepatu modis. Ya kali mau fashion show, dasar nona manja," ucap Bima sambil terkikik.

"Ih berisik banget sih kamu Bim! Lagian namanya juga cewek, harus jaga penampilan dong."

Dinda menepuk bahu Bima. "Tapi kayaknya kamu emang cocok deh di sini. Udah jarang mandi, suka tidur, ditambah ngamuk-ngamuk gak jelas. Cocok deh sama habitatnya," ledek Dinda menambahi.

"Ngamuk-ngamuk nggak jelas? Itu sih kamu Din." Jawab Bima kesal.

"Eh tuh-tuh liat, temenmu pada datang tuh! Liat deh di atas, banyak banget ahahaha," ledek Dinda sambil menunjuk ke arah monyet-monyet yang bergelantungan. Dinda tertawa terbahak-bahak.

"Ih apaan sih," jawab Bima kesal.

"Disapa dong temennya. Tuh pada ngeliatin ke sini. Kayaknya tau deh kalau ketuanya dateng." Dinda masih saja melanjutkan keusilannya.

"Bentar, tapi kalau dipikir-pikir ada baiknya juga sih. Kok bisa ya, seorang manusia yang ka-ta-nya Normal bisa pacaran 6 tahun bahkan sampai tunangan sama ketua monyet? Ahahaha, manusia normal!" Bima balik tertawa.

"Ih kok gitu sih kamu. Aku kan cuman bercanda nggak sampek bawa-bawa yang lain," Dinda mengernyit.

"Oh si normal lagi bercanda ya? Maaf ya, monyet nggak tau," ujar Bima terkikik.

"Dasar mood killer. Nggak ngerti perasaan cewek emang kamu ya." Dinda menekuk tangannya dan terlihat marah.

"Biarin. Maunya ngatain, dikatain balik gamau. Dasar cewek!" sanggah Bima.

"Huh! dasar Cowok gak peka, gak pernah mau ngalah." Dinda membuang muka.

Cuaca hari itu panas ditambah matahari yang makin terik di atas kepala. Bima dan Dinda berjalan pelan-pelan mengikuti peta kecil yang tidak begitu mereka pahami. Dinda terlihat mulai hilang semangatnya, hangus terbakar oleh panasnya matahari. Sambil menoleh kanan kiri, dia mencari pedagang untuk membeli sebotol air.

"Ini kota nggak ada yang jualan apa ya? Masa dari tadi cuma ada jalan tanah sama hutan doang. Sumpah aku haus banget nih," keluh Dinda.

"Sabar manusia, bentar lagi kita sampai di tujuan," jawab Bima.

"Udah deh! Aku lagi nggak mood nih Bim. Capek tau!" sentak Dinda. "Eh... Ini bener nggak sih jalannya? Yakin nggak kamu? Entar malah nyasar lagi. Dasar monyet!"

"Minta jangan ngatain, tapi masiiiih aja ngatain. Ini lagi diusahain juga. Aku udah baca bener-bener petanya. Pasti nyampek deh gak usah khawatir," jawab Bima membela diri.

"Nyampek, nyampek. awas aja kalau nyasar ya!"

Setelah berjalan agak jauh dari Stasiun akhirnya mereka sampai di sebuah pemukiman. Warga yang ada di situ sedikit tercengang melihat kehadiran keduanya. Nafas yang ngos-ngosan, kaki gemetaran ditambah wajah dan tangan yang tercoret-coret tanah. Mungkin mereka mengira kalau sepasang kekasih ini baru saja dirampok di tengah jalan.

Dua Pijar Satu WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang