Hujan kepada Bumi

16 3 1
                                    

... part 13 ...

Pelan suara rusa berlari di atas dedaunan yang jatuh, mengisi keheningan hutan dalam yang pekat. Menggantikan kicauan burung yang terhenti karena matahari sudah beranjak dari singgasananya. Dengan perlahan, mata Bima terbuka dari tidurnya yang damai di hutan yang sejuk ini.

"Panglima? Panglima? Anda sudah sadar?" tanya Rivan kegirangan. Wajahnya terlihat kucal kurang tidur tapi wajah gembiranya tak bisa ia sembunyikan.

"Apakah ini yang namanya surga? Sedamai inikah rasanya ..." Bima berpikir kalau dirinya sudah mati karena racun waktu itu.

"Anda bicara apa panglima, kita sekarang ini sedang berada di hutan Trax, antara kota Xeyna dan pangkalan prajurit kerajaan musuh. Anda menyuruh saya untuk beranjak ke sini secepatnya setelah prajurit kerajaan menjemput Xeyna dan yang lain."

"Oooh! cepat sekali kerajaan merespon, aku tak mengira kalau itu bisa terjadi dalam tempo sehari saja." Bima bangkit dari tidurnya dan bersandar di tiang kayu tenda.

"Maaf panglima, penjemputan Xeyna dan teman-temannya sudah 3 hari yang lalu setelah penyergapan kita seminggu sebelumnya."

"Astaga, selama itukah Aku tidak sadar? Pantas saja perutku lapar sekali sekarang." Bima mengelus perutnya yang keroncongan.

"Hahaha tenanglah panglima, Aku sudah membawa beberapa roti untuk Anda."

Bima memakan dengan lahap roti yang dibawa Rivan. Sementara Rivan hanya bisa tercengang melihatnya. Sambil terus mengunyah, Bima memperhatikan luka yang ada di kakinya. Aneh rasanya melihat tubuhnya sendiri dengan cepat bisa pulih. Entah siapa yang menolongnya, yang jelas ia sangat bersyukur dengan bantuan dari sosok berpakaian putih itu.

Setelah dirasa perutnya cukup terisi, lantas ia berdiri mengambil peta dari tasnya dan membentangkannya dengan lebar. Posisinya sekarang sudah sangat dalam di wilayah musuh. Berbahaya memang, terlebih lagi setelah insiden Xeyna yang pastinya membuat kerajaan musuh menjadi lebih waspada. Bima berusaha tenang dan memikirkan cara agar bisa masuk ke wilayah tenggara.

Mengapa tenggara? Karena panah kompasnya sekarang mengarah kencang ke arah itu. Tapi kali ini posisinya sedikit naik dan sepertinya tempat yang ia tuju berada di dataran tinggi. Melihat keseriusan panglimanya dan marabahaya yang ditempuhnya sampai sekarang ini, rasa penasaran Rivan mulai mencuat lagi.

"Sebenarnya, kita sedang melakukan apa panglima? Maafkan kelancanganku, tapi saya sama sekali tak tau apa maksud tujuan perjalanan kita ini. Terlebih lagi, sebelumnya panglima sangat terobsesi dengan gerhana matahari. Apa itu ada hubungannya dengan penyerangan wilayah musuh?" tanya Rivan antusias.

Bima melipat petanya dan menghela nafas.

"Benar juga... Kau seharusnya kuberitau dari awal. Tapi kau sama sekali tak menanyakan hal itu padaku sebelumnya. Jadi kukira tak ada masalah hahaha."

"Baiklah, Aku akan menceritakan semuanya. Tapi berjanjilah untuk tidak memberitahukan ini kepada siapa-siapa. Terlebih lagi suster Rena, bisa-bisa dia mengejarku sampai kemari hahaha."

"Permintaanmu adalah perintah bagi saya panglima," kata Rivan seraya mengangguk.

"Apakah kau percaya dengan hal mistis Rivan?"

"Umm... Saya pernah terbakar tanpa alasan di depan seseorang, saya pernah melihat sesuatu menembus tembok, dan seseorang ditelan lingkaran cahaya lalu menghilang. Sepertinya saya mulai mempercayai hal mistis panglima."

"Baguslah kalau begitu. Sebenarnya, aku ini bukanlah aku dan masa ini bukanlah masaku,"

"Tunggu... Apa?"

Dua Pijar Satu WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang