bagian dua

140K 9.9K 505
                                    

Dalam keheningan itu, Kara mengeluarkan air matanya dengan isakkan kecil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam keheningan itu, Kara mengeluarkan air matanya dengan isakkan kecil. Tangannya berusaha menghapus darah mengalir dari tangan laki-laki itu.

Bian menunduk, menatap gadis itu dalam. Tangannya yang lain menyentuh wajah Kara, mengusap air matanya pelan. Bukannya berhenti, tangisan Kara makin keras, ia kini melepaskan kapas ditangannya, menunduk menutupi wajahnya.

Ya, kadang dia sempat berfikir andai saja waktu dapat berputar, ia akan kembali ke masa lalu. Dimana dia tidak ingin mengenal sosok Bian. Seseorang yang merubah seluruh hidupnya.

"T-tetaplah bersama aku, Ra," tubuh Kara direngkuh Bian, isakkan tangisnya makin keras saat pelukkan itu makin kuat. Aroma darah menusuk hidung gadis itu.

Saat Kara melepaskan pelukan itu, tubuh Bian terhuyung kebelakang. Laki-laki itu tidak sadarkan diri. Merasa terkejut, buru-buru Kara membuka pintu dan tepat seperti dugaannya, orang-orang masih berkumpul disana.

"Bian pingsan, Bun,"

Dan wanita itu langsung memerintahkan orang-orang disana, membopong tubuh Bian menuju rumah sakit.

"Terimakasih, Kara, terimakasih atas segala sesuatu yang kamu berikan." Jessi meremas lembut lengan Kara, menyadarkan gadis itu yang tengah menatap kosong tubuh Bian yang dimasukkan kedalam mobil.

Kara hanya terdiam, tidak membalas sama sekali.

Jessi menghela nafas. "Mungkin, kami memang terlalu egois. Kamu banyak berkorban untuk Bian, Kara. Tapi disisi lain, kami tidak bisa melepaskan kamu, karena seperti yang kamu tau Bian bergantung sama kamu, Kara."

Gadis itu mengusap kedua bahunya. "Mungkin memang beginilah tuhan memberi takdir." lalu dia berlalu, memasuki mobil yang membawa Bian.

***

"Dia kelelahan dan kekurangan asupan, selain itu emosinya tampak tidak stabil, mungkin anda dapat membawanya ke psikolog untuk konsultasi lebih lanjut."

Kara duduk di kursi yang berada di samping ranjang Bian. Bunda Rianti tengah bicara dengan dokter.

"Terimakasih, dokter."

Jari Kara menyentuh tangan Bian, menatap luka-luka di buku-buku jari laki-laki itu. Entah sudah berapa kali tangan itu memukul benda-benda keras.

Saat ia menatap telapak tangan Bian, entah kenapa bayangan buruk itu hadir lagi. Dan tangan ini jugalah yang telah menghancurkan seseorang.
Kara terkejut saat jemari itu bergerak, menggenggam tangannya. "Bunda! kak Jessi! Bian bangun!" serunya. Bunda Rianti datang tergesa-gesa bersama Jessi. Tangan Kara terlepas, ia membiarkan Bunda Rianti mengambil posisinya memeluk putranya itu.

"Jangan lakukan ini lagi, jangan, Bian, itu menyiksa Bunda!" tangis wanita itu memeluk anaknya.

Tiba-tiba pintu ruang rawat itu terbuka keras, sosok pria mengenakkan kemeja datang dengan langkah cepat menghampiri ranjang. "Mas!" pekik Bunda saat pria itu menampar keras Bian.

"Puas kamu membuat semua orang khawatir karena tingkah anehmu?! Puas kamu menyusahkan semua orang?! Kamu puas membuat orangtuamu bersedih?!" pria itu, Baskara, ayah Bian. Pria itu baru satu jam lalu mendarat dan tergesa menuju rumah sakit saat mendengar berita anaknya.

Bian hanya diam dengan pandangan kosong. Rianti melerai pertengkaran itu. "Udah, Mas, anak kita baru saja bangun."

"Laki-laki apa yang lemah sepertimu! Tidak berguna!" maki Baskara.

"Ayah!" pekik Jessi.

"Mas! Udah, ayo keluar, kita harus bicarakan ini," bujuknya. Rianti pergi bersama suaminya keluar dari ruangan. Jessi yang melihat itu langsung mengikuti.

Kini tertinggal Kara yang meremas kedua tangannya. Ia baru saja melihat hal mengerikan yang terjadi dalam keluarga itu.

"Ra, jangan tinggalin aku, Ra." suara mengiba itu membuat Kara tersentak dia langsung mendekati ranjang, mengusap kepala laki-laki itu. "Jangan bergerak!" Bian berusaha untuk duduk.

Tubuh laki-laki itu memeluk Kara, gadis itu membalas pelukkan Bian, mengelus rambutnya dengan lembut. Tampak Bian memejamkan mata nyaman.

"Maafin aku," gumam Bian.

"Maafin aku." ulangnya.

Menghela nafas kecil, Kara menjauhkan tubuh mereka, awalnya Bian menolak namun Kara paksaan. Tangannya meraih wajah Bian, menatapnya dalam.

"Jangan lakukan lagi, ya? Aku mohon," lirihnya. "Aku mohon sama kamu. Aku memaafkan kamu, apapun itu yang kamu lakukan, tapi aku mohon sekali lagi, jangan melakukan sesuatu yang akan menyakiti orang lain lagi." tangannya mengusap pelan pipi Bian.

"Tapi dia ingin merebut kamu, Ra, dia ingin kamu!" ucapnya serak.

Kara menggeleng keras. "Nggak. Hilangkan pikiran itu! Apapun yang terjadi, aku tetap akan jadi milik kamu. Apapun yang terjadi aku hanya akan sama kamu. Jadi hilangkan pikiran itu,"

Mata Bian sayu, sedih. "Tapi kemarin kamu ingin pergi dari aku, kamu bilang kemarin muak sama aku. Aku takut, Ra. Aku nggak sanggup kalau sampai kehilangan kamu. Karena kamu adalah duniaku, Ra."

"Nggak. Itu nggak akan terjadi lagi. Tapi kamu harus janji berubah. Kamu harus berubah demi aku, kamu jangan nolak lagi buat konsultasi ke psikolog dan kamu juga harus belajar hari ini bagaimana caranya mengendalikan emosi."

Bian menggeleng keras. "Aku nggak gila, Ra!"

"Kamu memang bukan!" balas Kara. "Aku hanya minta kamu buat konsultasi, ini demi kebaikan kamu."

Muka Bian mulai mengeras, ia membuang muka. Kara menarik dagu Bian agar menatapnya.

"Ini demi aku. Demi kebaikan kita, ya?" Kara menatap mata laki-laki itu dalam.

Bian menghela nafas, mengangguk pelan. "Jika itu mau kamu, aku mau."

Kara ikut bernafas lega, ia tersenyum menatap Bian, lalu mengecup ringan bibir laki-laki itu.

***

Note:

Baca cerita lengkapnya di karyakarsa monggosee, lagi ada diskon potongan harga 20.000 kalau kamu masukin kode voucher : Merkurius

000 kalau kamu masukin kode voucher : Merkurius

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bad Heaven [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang