bagian satu

155K 10.4K 910
                                    

Ada tiga hal baru yang Kara takutkan beberapa waktu belakangan ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada tiga hal baru yang Kara takutkan beberapa waktu belakangan ini.

Pertama, darah.

Kedua, bertemu Bian.

Dan ketiga, mendengar dering telfon dan bel rumah.

Tepat lima hari setelah putus dari Bian, hidup Kara tidak pernah tenang. Untuk tidur saja, perempuan itu masih memimpikan Bian. Deringan telefon rumah dan ponselnya silih berganti berbunyi tidak henti-hentinya dan bel rumah serta gedoran pintu memekakkan kediaman Kara.

Keluarga Kara marah besar. Marah pada gadis itu karena telah membuat Abian Baskara seperti itu. Anak Baskara memang seberharga itu untuk orangtuanya sendiri. Ayahnya yang paling marah karena ayah Bian adalah bos besar tempat dia bekerja.

Hal seperti ini juga pernah terjadi walau tak separah saat ini.

Kara tertekan. Kuliahnya jadi terhambat, segala aktivitasnya juga terhenti. Gadis itu bahkan tidak sanggup keluar dari kamarnya. Sudah empat hari ini Bian memaksa masuk kerumahnya, memanggil namanya dengan suara memohon. Untung saja ada Kakaknya, Sandy, yang menangani Bian.

Kring. Kring. Kring.

Bunyi telepon rumah terus berbunyi nyaring, mengisi kekosongan di rumah perempuan itu. Kara menutup telinganya rapat-rapat. Dia mematikan ponselnya dan tak lama inilah yang terjadi. Kini Bian menerornya lewat telepon rumah.

Dirumah, Kara hanya ditemani pembantunya Bi Irum. Perempuan berumur yang biasanya kalau tidak di dapur ya, dikamarnya yang terletak di dekat taman belakang.

Kara menangis. Jantungnya berdetak kencang. Dia ketakutan.

"Non, telfonnya bunyi terus sejak tadi, apa nggak mau diangkat?" suara bi Irum dari luar menyentak Kara.

Kara melirik pintu kamarnya meringis. "Nggak usah, Bi! Biarin aja!" pekik Kara dengan suara serak.

"Ta-tapi non, nomornya ... nomor Bu Rianti, non." kata Irum tersendat.

Seketika itu juga. Tubuh Kara menegang. Seolah adalah gumpalan keras di tenggorokannya, ia menjadi sesak nafas. Rianti, bunda dari Bian. Jika wanita itu juga ikut campur masalah ini, berarti Bian telah berbuat hal-hal diluar nalar atau melakukan hal yang tidak bisa dihentikan ibunya sendiri.

Mendadak, detakan jantung gadis itu makin tak terkendali. Tubuh Kara dengan lemas, turun dari kasur, membuka pintu kamarnya. Bi Irum disana dengan wajah cemas, dering telfon yang tidak henti-hentinya berbunyi ikut menambah kecemasan itu.

Dengan kaku, Kara mengangkat ganggang telfon tersebut ketelinga. Dalam hati, ia harus menerima apapun berita dari Rianti. "Ha-halo bunda?" bibirnya terasa kering.

"Kara, bantu bunda Kara!" suara tersebut terdengar penuh emosi kesedihan dan kefrustasian. "Bi-Bian Kara .... dia...,"

Kara membeku saat mendengar setiap kalimat dari Rianti. Suara-suara terdengar berisik dari sebrang sana ikut memperjelas segalanya.

Bad Heaven [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang