Rasa yang Terlambat

22 2 0
                                    

Pov
Dion

Sepintas bayangan Kezia masih lekat di mataku. Arghh... Jangan-jangan aku jatuh cinta? Kubenamkan mataku dalam-dalam. Benar ya kata orang, cinta itu buta. Hingga membuat aku buta tak bisa memilih kepada siapa aku harus jatuh cinta.

"Woi!"

Teriak Dita dari depan pintu kamarku.

"Apa?" Jawabku galak.

Mukanya sedikit cemberut, bibirnya sedikit dimanyunkan.

"Maakk!" Teriaknya.

Sialan ini anak malah ngadu. Aku mendekat ke arahnya kemudian membungkam mulutnya.

"Diem, kampret!"

"Hhmmmtt hmmmtt."

Dita mengerang sambil menggeliat. Tangannya membuka paksa jemariku yang menyimpan rapat bibirnya.

"Ahh Kakak apa-apaan sih!" Decaknya kesal.

"Habis kamu ngagetin, ada apa?"

"Enggak sih cuman kepo saja sama sikap kakak. Aneh, senyum sendiri mewek sendiri. Kayak orang jatuh cinta." Tutur Dita panjang lebar.

"Ehhemm, anak Emak jatuh cinta nih."

What? Emak sejak kapan berdiri di situ? Wajahku mendadak memerah. Seolah ketebak semua yang ada di alam pikirku.

"Sama siapa?" Desak emak.

"Sama siapa lagi, kalau bukan Kak Kezia yang tonggos itu. Hahaha."

Iih menyebalkan ini anak. Betapa malunya aku anak emak paling ganteng jatuh cinta sama cewek tonggos. Oh Dion kesurupan setan apa kamu? Aku menepuk pipiku berkali-kali.

"Hus, jangan sok tau." Sanggahku.

"Apaan emang bener kok, kalau gak cinta ngapain nyolong buku diarynya kak Kezia?" Dita menjulurkan lidahnya.

Emak menatapku dengan senyuman. Kupikir ia akan memelototi diriku, yang salah memilih gadis buruk rupa.

"Emak..." Ucapku lirih sedikit merajuk.

"Cinta yang kau nilai dari rupa, kelak juga akan meninggalkan kamu ketika tua. Cinta pada harta juga tak akan kamu bawa mati. Tapi cintailah atas dasar hati yang tulus mengharap Ridho Allah. Niscaya kebahagiaan akan turut bersemai pada mahligai," tutur Emak dengan lembut.

Kata-kata emak sangat menyentuh. Tapi entah sejak kapan emak sebijaksana ini. Jadi makin kagum sama emak, love, love,love banget pokoknya.

"Jadi emak setuju aku jatuh cinta sama cewek tonggos?"

"Hahaha tonggos bisa dipoles. Tapi kalau hati yang tonggos kamu mau poles pake apa?"

Suara emak menggelegak  tawa. Kali ini tatapanku berpindah ke arah Dita yang dari tadi tersenyum geli.

"Pangeran tampan dapat itik buruk rupa." Tawanya makin keras.

****
Kali ini aku melihat si Pino, tumben sendiri biasanya bareng sama Kezia. Perlahan Pino mendekat ke arahku, aku menyambutnya seperti biasa. Maklum sahabat dekat, walau dalam hati cemburu yang sempat terbakar ini belum padam.

"Tumben sendirian? Tuan putrimu ke mana?" Tanyaku basa-basi.

"Halah bilang saja kangen," ucapnya dengan nada mengejek.

"Idih kagaklah. Tau sendiri seleraku itu kayak apa." Kilahku sambil menepuk pundak Pino.

"Hahaha, aku udah tau semuanya dari Dita. Lagian aku cuman mau bilang saja, kalau hati kamu tulus mencintai wanita jangan pernah lukai hatinya." Senyum Pino terasa ngilu di dadaku.

Ini sindiran ataukah tamparan? Jeritku dalam hati. Pino menyedot es teh yang tadi di bawahnya kemudian menatap es itu dalam-dalam.

"Cinta itu kayak es, kalau gak dinikmati selagi dingin maka, ia akan mencair dan hilang. Semoga saja kami tidak terlambat meminum es nya."

Pino berlalu dari hadapanku. Entah aku yang bodoh atau kata-kata Pino yang terlalu melambung membuat aku tidak bisa mencerna dengan sempurna.

Ahh cuek sajalah, aku beranjak memasuki kelas. Di sana kutemukan sepi, gadis-gadis saling berbisik ketika aku masuk. Ada di antara mereka yang terang-terangan menggoda.

Mataku mengitari ruangan, tak kutemukan sosok Kezia di bangkunya. Tidak masukkah dia? Sakit kah? Atau ada apa?

Lima menit pelajaran segera dimulai. Aku tidak peduli, kulangkahkan kaki menuju ruang guru untuk mencari tahu. Bu Santi memberikan informasi bahwa sejak hari ini Kezia pindah sekolah.

Ahh sial! Kenapa dadaku sakit? Mungkin sesakit inikah Menyadari sebuah rasa yang terlambat? Tubuhku lemas tertunduk dengan penyesalan.

"Maafkan aku Kezia."

Bidadari KeseleoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang