10 Tahun yang Lalu...Aku meraih tangannya lamat-lamat. Menggenggamnya tanpa ragu, walau ku tahu jika ia tak akan senang jika ku sentuh. Hangat, pikirku ketika tanganku berhasil beradu. Ini pertama kali aku menyentuhnya sejak belasan tahun, ketika kami masih kanak-kanak.
Ah.. sesaat ku kira ia akan mendorongku, menangkis, atau melakukan sesuatu agar tak lagi berada dalam jangkauanku. Ia benar-benar pasrah dan bergeming. Membiarkan aku menggenggam jemarinya selama mungkin. Tidak, hatiku semakin tergerus dengan sikapnya yang seperti. Hancur, karena berarti apa yang ku dengar dari orang-orang itu adalah pasti kebenarannya. Ku mohon berontaklah!
Hujan perlahan jatuh membasahi bumi dan hatiku yang turut gersang. Ombak laut masih terus mengaum lewat deburan ombaknya. Hatiku berteman dengan mereka bersama kemelut.
"Tolong katakan padaku jika kau pergi karena akan menikah dengan orang lain. Bukan karena..." Aku tak sanggup melanjutkan setiap baris kata lagi. Ini terlalu menyakitkan. Rasa jijik pun ikut menjalar, tapi hatiku sudah terlebih dahulu hancur bersama air hujan yang jatuh dari tubuhku.
Ah tidak. Ia masih bergeming dan tidak membalas. Matanya yang selalu awas menatapku dengan satu perasaan yang belasan tahun pernah ku tafsirkan. Cinta. Hatiku semakin mendidih. Rasa benci, kecewa, takut, semua terpelecut jadi satu.
"Katakan padaku jika penyakit jahanam itu hanya rekaanmu, Abang. Ku mohon." Kakiku lunglai, tak dapat menahan lebih lama lagi untuk tetap tegak berdiri. Kali ini ia yang masih berdiri tegak. Kedua tanganku masih bergantung padanya. Bisa apa aku? Ia tak membalas apa pun yang menjadi pertanyaan besar ku sekarang. Apa sebentar lagi ia akan mati karena penyakit itu? Jadi apakah aku benar-benar tidak bisa melihat dirinya lagi?
Gerimis telah berganti jadi air bah. Aku hanya tergugu, nafasku sedu sedan tak lagi dapat diatur. Aku tak peduli pada angin yang mulai menusuk kulitku sedemikian rupa. Juga tatapan heran orang-orang yang bertanya, ada apa.
Di bawah guyuran air hujan dan permainan angin Langkisau, laki-laki itu luruh mengikuti yang masih terduduk di hamparan pasir pantai. Ia tak menyentakkan tanganku. Hanya mengelus jilbabku yang telah kuyup dengan hati-hati. "Batas waktuku hanya sampai pelepasan bulan ini, Rinduku. Jangankan menjaga hati, bahkan diriku tak pandai untuk berbohong padamu. Jadi bagaimanalah? Ternyata perasaanku masih samaa seperti saat purnama mencerahkan wajahmu di bawah bayangannya."
Setelahnya aku hanya memandang kabut dan hitam.
***
Sarjana Pasir...
Cetak..Cetak..Cetak
Bunyi keyboard yang ditekan cepat berkali-kali terdengar begitu mengenaskan. Seharusnya tidak perlu menyiksa 'mereka' (baca: tuts-tuts keyboard) dengan menekannya begitu keras. Orang-orang baru atau yang sekadar mampir akan langsung meremang bulu kuduknya. Dan perlahan bagi yang membawa laptop, mereka akan menjauhkan perangkat elektronik itu dari tangan-tangan pegawai kantor. Takut jika keyboard mereka nantinya tak lagi perawan.Namun, bertahun-tahun di sini, 'orkestra penyiksaan' tersebut sudah cukup biasa bagiku. Bahkan terkadang saat ini suaranya begitu merdu, semerdu Carline Dion menyuarakan I Surrender di C'mon Cafe, tempat rutinku mengopi diakhir pekan.
Tak harus di C'mon Cafe, pagi ini pun aku tetap mengopi. Secangkir kopi hitam dan sedikit cream rasa mocca, lebih tepatnya. Ku seruput benda hitam kecokelatan itu dengan suara penuh nikmat, sungguh pagi yang sempurna. Di ruang kerja dengan deadline satu bulan ke depan menjelang bulan Ramdhan, berikut dengan lemburnya, kopi menjadi peng-awalan yang bagus betul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang
General FictionIa punya cara pandang yang berseberangan dengan kebanyakan orang di rumah. Rindu tak setuju jika perempuan hanya berada di sekitar sumur, dapur, dan kasur. Rindu memutuskan untuk 'membuang' dirinya sebagai perantau. Berbekal mimpi yang digadang-gada...