Jilid 22

1.8K 19 0
                                    

Kakek ini mengerutkan keningnya, berkata halus, "Kim-siauw-eng, ke mana perginya keteguhan hatimu? Mengapa saat ini kau terserang kelemahan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kegagahanmu? Laki-laki sama sekali pantang untuk turun semangat dan membiarkan hatinya digerogoti perasaan duka. Apakah yang mengganggu pikiranmu, orang muda?"

"Locianpwe, teecu berterima kasih bahwa Locianpwe telah menyelamatkan teecu dari pada bahaya maut. Akan tetapi kesedihan hati teecu lebih besar dari pada rasa syukur telah bebas dari kematian. Mendengar semua orang membenci teecu karena mendiang ibu, tidaklah mengguncangkan perasaan teecu. Akan tetapi mendengar kenyataan bahwa ibu kandung teecu dahulunya begitu keji dan jahat, hal inilah yang menghancurkan hati teecu. Mohon petunjuk Locianpwe."

Kakek itu menarik napas panjang. "Aku sudah heran tadi mengapa kau hanya menghadapi orang-orang yang mengancam nyawamu dengan Kim-kong-sin-im saja, padahal kalau kau melawan mereka dengan Hong-in-bun-hwat dan dengan ilmu silatmu yang lain, kau takkan terancam bahaya maut. Kiranya kau merasa betapa ibumu berdosa dan kau sengaja hendak mengorbankan diri menebus dosanya! Orang muda, ibumu memang memiliki watak yang keras. Akan tetapi ia hanya seorang manusia biasa saja, seperti manusia-manusia lain ia pun mempunyai kelemahan. Manusia adalah makhluk yang lemah dan karenanya mudah lupa akan kemanusiaan. Tidak ada manusia baik atau jahat di dunia ini, semua sama saja karenanya dengan dasar pikiran ini orang budiman mengasihi semua manusia tanpa pandang perbedaan. Yang suka disebut orang jahat adalah orang yang sedang lupa, dilupakan oleh nafsu ingin senang sendiri, ingin menang sendiri, ingin enak sendiri, tanpa mempedulikan keadaan orang lain, maka perbuatannya yang ditunggangi nafsu-nafsu demikian itu merugikan orang lain. Orang yang dirugikan tentu akan menganggapnya jahat. Sebaliknya, orang yang sedang sadar, bebas nafsu, tentu akan timbul peri-kemanusiaannya dan melakukan perbuatan yang menguntungkan atau menyenangkan orang lain. Orang yang diuntungkan atau disenangkan demikian itu tentu akan menganggapnya baik. Jadi pada umumnya, manusia menilai BAIK atau JAHAT itu didasarkan pada akibat MENGUNTUNGKAN atau MERUGIKAN dirinya yang sebetulnya juga menjadi rangkaian dari pada nafsunya sendiri."

Suling Emas mengangguk-angguk, "Teecu dapat memahami filsafat yang Locianpwe ajarkan. Mungkin mendiang ibu melakukan semua itu karena lemah dan lupa, ingin mengumbar nafsu sehingga akibatnya merugikan banyak orang dan menimbulkan benci. Sekarang mereka hendak menuntut kepada teecu, bagaimana teecu harus berbuat? Locianpwe, biar pun ibu dikatakan orang jahat, namun ia adalah ibu kandung teecu dan teecu belum pernah melakukan sesuatu kebaktian bagi ibu, belum dapat membalas kesengsaraan ibu ketika ibu mengandung dan melahirkan serta memelihara teecu. Apakah yang teecu harus lakukan?"

"Sudah kukatakan tadi, Kim-siauw-eng, bahwa orang-orang yang merasa dirugikan menjadi marah dan benci. Benci menimbulkan dendam. Dendam menimbulkan perbuatan merugikan pihak lain sehingga timbul dendam-mendendam yang tiada habisnya, rangkaian permainan karma. Orang membenci takkan kehabisan bahan untuk mencela, sebaliknya orang mencinta takkan kehabisan bahan untuk memuji. Karena dasarnya hanya dirugikan atau diuntungkan, maka kedua perasaan itu mudah berubah. Benci berubah cinta setelah yang dibenci mendatangkan untung, baik di bidang benda mau pun perasaan. Sebaliknya cinta bisa berubah benci setelah yang dicinta mendatangkan rugi. Karena itu, jangan kau pusingkan siapa orangnya yang membencimu atau mencintamu. Semua harus kau pandang sama, dengan pandangan kasih sayang antar manusia. Kalau toh kau hendak menebus perbuatan-perbuatan ibumu yang dianggap DOSA, kau lakukanlah sebanyak-banyaknya hal-hal yang menguntungkan dan menyenangkan hati orang lain, atau yang lazim disebut kebaikan. Dengan perbuatan baik berarti kau mengangkat tinggi nama orang tua, termasuk ibumu. Tapi jangan sekali-kali kau lupa akan kewajibanmu sebagai satria, yaitu membela si lemah tertindas, menyadarkan si kuat penindas, baik dengan nasihat mau pun dengan ilmu kepandaianmu. Orang-orang yang lupa dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, perlu disadarkan, baik dengan jalan halus mau pun kasar. Kau mengerti maksudku, bukan?"

Suling Emas mengangguk. "Terima kasih, Locianpwe."

"Sekarang mari kau perdalam Kim-kong Sim-im, tadi kudengar latihanmu ada beberapa bagian yang kurang sempurna."

Kakek itu lalu bersila di depan Suling Emas, menurunkan yang-khim dan mulai mainkan yang-khim-nya. Suling Emas cepat-cepat mengambil sulingnya dan tak lama kemudian di tempat yang sunyi itu kembali terdengar paduan suara yang-khim dan suling, melagukan nyanyian yang amat merdu, akan tetapi yang mengandung pengaruh luar biasa sekali sehingga keadaan di lembah itu amat aneh.

Kadang-kadang paduan suara itu terdengar seperti badai mengamuk sehingga keadaan sekelilingnya menjadi makin sunyi karena binatang-binatang hutan tidak ada yang berani muncul mau pun bersuara. Di lain saat terdengarlah paduan suara yang lembut merayu seperti bisikan-bisikan angin lalu, seperti kicau burung dan gemerciknya air anak sungai yang bening, sehingga burung-burung di hutan itu mulai ikut berkicau, binatang-binatang mulai keluar dari tempat sembunyi mereka dan suasana menjadi tenteram dan penuh damai.

Lebih dua jam mereka berlatih. Akhirnya paduan suara itu menghilang dan dengan senyum puas kakek Bu Kek Siansu meninggalkan Suling Emas yang masih berlutut di atas tanah.

"Tugasmu amat banyak, Suling Emas. Berbahagialah manusia yang masih mempunyai tugas-tugas dalam hidupnya, karena tidak ada yang lebih mulia dalam hidup ini selain menunaikan tugas-tugas hidup, mempergunakan tenaga dan pikirannya yang amat dibutuhkan orang lain."

"Locianpwe, setelah semua tugas teecu selesai, teecu ingin sekali ikut Locianpwe menuntut ilmu bertapa dan menjauhkan diri dari pada urusan dunia."

Kakek itu tertawa dan mengelus-elus jenggotnya yang putih. "Lamunan semua orang muda yang sedang diamuk duka nestapa. Tunggu saja kalau kau sudah bertemu dengan jodohmu, ha-ha-ha, mungkin kupaksa ikut pun kau akan menolak! Selamat tinggal!" Maka pergilah kakek itu.

Sepergi kakek sakti Bu Kek Siansu Suling Emas duduk terus bersila sambil termenung. Tunggu kalau dia bertemu jodohnya? Apa arti ucapan kakek sakti itu? Ia maklum bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang sakti yang sukar dicari bandingnya pada masa itu, dan bahwa kakek itu selain memiliki kesaktian, juga memiliki ilmu kebatinan yang dalam. Akan tetapi, dalam hal jodoh, tiada manusia di dunia ini lebih berkuasa dari pada Dewa jodoh yang sudah diberi tugas oleh Thian untuk mengurus soal-soal perjodohan manusia di permukaan bumi. Dan oleh Dewa jodoh, pertaliannya dengan satu-satunya wanita yang pernah ia cinta, pertalian kasih sayang yang mendalam, agaknya telah diputuskan. Ataukah ini yang dibilang bahwa wanita itu bukan jodohnya? Akan tetapi dia satu-satunya gadis yang pernah ia cinta, ia sayang, seperti hatinya!

"Ceng Ceng... kekasihku...," terdengar ia berbisik, merupakan keluhan yang langsung keluar dari hatinya yang terluka.

Terbayanglah wajah seorang wanita yang ayu, yang lemah lembut dan yang sikapnya agung. Wajah jelita gadis pujaan hatinya, Suma Ceng. Terbayanglah dengan amat jelasnya di dalam ingatan, sepuluh tahun yang lalu. Ia masih menjadi seorang pegawai muda yang dipercaya oleh Pangeran Suma Kong di kota raja, bahkan diberi tempat tinggal di sebuah bangunan samping gedung pangeran itu.

Masih jelas terbayang pertemuan pertama kali dengan Suma Ceng, puteri pangeran itu. Bulan bersinar indah dan penuh pada malam itu. Ia duduk di dalam taman bunga Pangeran Suma yang luas, duduk di depan pondok taman sambil meniup suling, permainan yang digemarinya semenjak ia kecil. Kemudian, bagaikan Sang Dewi Malam atau Dewi Purnama sendiri turun ke dunia, puteri jelita itu muncul, tertarik oleh suara sulingnya.

"Ceng Ceng...," kembali Suling Emas menarik napas panjang dalam lamunannya.

Teringat dan terbayanglah semua itu. Betapa mesra pertemuan itu. Betapa sinar mata mereka yang bicara dalam seribu bahasa, mewakili bibir yang tak pandai berkata-kata. Kemudian betapa mimpi muluk itu menjadi hancur berantakan oleh kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Ia hanya seorang pelajar yang tak pernah lulus ujian, Suma Ceng puteri seorang pangeran, bahkan pangeran yang menjadi majikannya!

Namun betapa cinta kasih membikin ia buta akan kenyataan ini, membuat Suma Ceng juga buta bahkan ia tak mungkin berjodoh dengan seorang pegawai biasa. Mereka bagaikan mabuk asmara, asyik dan masyuk, dibuai gelora cinta kasih yang mendalam. Hubungan dilanjutkan, hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap yang menjadi saksi akan pertalian cinta kasih di antara mereka yang makin mendalam.

Akhirnya, semua mimpi muluk berakhir. Dalam lamunannya, Suling Emas mengeluh. Pertemuannya dengan kekasihnya ketahuan. Ia seorang pemuda lemah ketika itu. Ia dihajar, dihukum, hampir dibunuh, akhirnya ia tertolong oleh Kim-mo Taisu yang kemudian menjadi gurunya (baca cerita Suling Emas yang amat menarik).

"Ceng Ceng...!" Suling Emas mengusir ingatan tentang kesengsaraan yang dideritanya semejak hubungannya dengan Suma Ceng ketahuan.

Ia kembali memaksa ingatannya membayangkan wajah kekasihnya yang jelita. Wajah yang mirip dengan wajah Lin Lin, yang kemudian dalam lamunannya berubah perlahan-lahan menjadi wajah Lin Lin! Ia mengerutkan kening, lalu menggoyang-goyang kepalanya keras-keras sehingga bayangan itu lenyap dari pandang matanya.
Suling Emas bangkit berdiri, sikapnya tenang, wajahnya biasa, akan tetapi jantung di dalam dadanya seakan-akan menjeritkan nama itu berkali-kali, "Ceng Ceng... Ceng Ceng...!" Jeritan yang membuat ia makin lama makin rindu kepada yang punya nama ini.

Makin dipikirkan, makin perih hatinya. Selama hidup di dunia ini, hanya ada dua orang saja yang selalu berada di hatinya. Orang pertama adalah ibu kandungnya, orang kedua adalah Suma Ceng. Akan tetapi ibunya yang semenjak kecil ia rindukan, ia harap-harapkan perjumpaan dengan ibunya, ternyata begitu bertemu lalu meninggal dunia dan meninggalkan nama yang dibenci oleh dunia kang-ouw, yang dianggap jahat.

Ada pun Suma Ceng, gadis yang dicinta dan mencintainya, telah direnggut orang dari pelukannya, kini telah menjadi isteri orang lain! Apa lagi yang diharapkan di dunia ini? Untuk apa lagi ia hidup? Sudah sepatutnya kalau ia ikut dengan kakek Bu Kek Siansu, bertapa dan mengasingkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi kakek sakti itu bilang bahwa kalau ia bertemu dengan jodohnya, diajak bertapa pun ia takkan mau?

Semua renungan ini membuat ia merasa makin rindu kepada Ceng Ceng yang masih hidup. Andai kata ibu kandungnya masih hidup, tentu ia akan mendekati ibunya dan berusaha melupakan Suma Ceng yang sudah menjadi isteri orang lain. Bahkan andai kata ayahnya masih hidup, ia tentu akan mendekati ayahnya yang selama ini ia benci karena berpisah dari ibunya. Akan tetapi kedua orang tuanya sudah meninggal, hanya Suma Ceng yang masih hidup.

"Ceng Ceng... aku harus menemuimu... sekali lagi...!"

Tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah kota raja di mana Suma Ceng berada! Ada memang ingatan akan tugas-tugasnya berkelebat di benaknya, namun ia sengaja mengesampingkan dulu tugas-tugas ini. Setelah bertemu dengan Suma Ceng, baru ia akan melaksanakan tugas-tugas itu. Merampas kembali tongkat Beng-kauw, mewakili ibu kandungnya ke puncak Thai-san untuk menghadapi tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai. Merampas kembali Lin Lin dari tangan orang-orang Khitan dan menyuruh tiga orang adik-adiknya kembali ke Cin-ling-san. Mengurus perjodohan, apa bila mungkin, antara Bu Sin dengan Liu Hwee, dan tugasnya yang terakhir, seperti dipesankan oleh Bu Kek Siansu, yaitu memupuk perbuatan-perbuatan bermanfaat dan baik bagi orang lain untuk mengangkat kembali nama ibu kandungnya. Dengan ilmu lari cepatnya yang luar biasa, sebentar saja tubuh Suling Emas tampak jauh, hanya sebesar titik hitam yang dalam beberapa detik berikutnya lenyap sudah.

CINTA BERNODA DARAH (seri ke 3 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang