Setelah selesai mengurus pemakaman tiga jenazah itu, Kui Lan Nikouw membuka sampul surat yang ia temukan dalam kamar adik seperguruannya. Sampul surat yang memang ditujukan kepadanya. Ia membaca isi surat itu, menggeleng-geleng kepala memanggil Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin berkumpul. Di depan mereka ia baca lagi surat itu dengan suara keras. Surat itu singkat saja, seperti berikut:
Kui Lan suci yang mulia.
Surat ini kubuat lebih dulu, menjaga kalau-kalau aku tewas dalam menghadapi Giam Sui Lok. Kau tahu urusanku dengan dia, tak seorang pun boleh mencampuri, dia berhak menuntut seorang di antara kami harus mati untuk membiarkan yang lain hidup di samping Bwee Hwa. Sengaja kusuruh anak-anak pergi menjemput Suci.
Kalau aku tewas, kiranya Bwee Hwa tentu akan membunuh diri seperti yang berkali-kali ia nyatakan dalam hubungan kami dengan orang she Giam itu. Kalau terjadi kami berdua tewas, harap Suci atur anak-anak.
Peti hitam itu selain berisi harta pusaka yang sengaja kusimpan, juga terdapat sebuah gelang emas dengan huruf Bu Song. Kau tahu, itu adalah gelang emas milik Bu Song. Harta pusaka itu diberikan kepada empat orang anak, bagi rata, jangan bedakan sedikit juga antara Bu Song dan Lin Lin serta yang dua orang. Akan tetapi suruh tiga orang anak itu pergi mencari Bu Song sampai dapat. Aku tidak tahu di mana ia berada, pengetahuanku tentang dia sama dengan pengetahuanmu, Suci, maka kau ceritakan kepada mereka.
Kalau aku tewas di tangan Giam Sui Lok, pesan semua anak-anak jangan mencari dan membalas dendam kepadanya. Sudah terlalu banyak orang she Giam itu menderita karena aku.
Hormat Sute-mu,
KAM SI EK
Sambil terisak-isak mendengarkan bunyi surat pesan terakhir dari ayah mereka itu, tiga orang anak ini pun terheran-heran dan banyak hal yang mereka tidak mengerti.
"Kalian tentu tidak tahu siapa itu Bu Song. Baiklah pinni ceritakan secara singkat. Dahulu, sebelum Ayahmu menikah dengan Ibumu setelah menang berebutan dengan Giam Sui Lok, Ayahmu adalah seorang duda yang mempunyai seorang anak laki-laki tunggal diberi nama Bu Song, Kam Bu Song. Pada waktu itu Bu Song sudah berusia sembilan tahun kurang lebih. Ayahmu menjadi duda bukan karena kematian isterinya, melainkan karena perceraian. Ibu Bu Song seorang ahli silat yang kepandaiannya jauh melebihi Ayahmu, sayangnya... hemmm, hal ini terpaksa kuberitahukan, dia itu dahulunya adalah seorang gadis dari golongan hitam. Wataknya keras, dan mungkin karena inilah ia berpisah dari Ayahmu yang lalu menikah lagi dengan Ibumu."
"Dan ke mana perginya... eh, Kakak Bu Song itu, Sukouw? Bukankah dia itu terhitung kakakku, karena dia pun putera Ayah?" tanya Bu Sin, berdebar hatinya mendengar bahwa dia bukanlah anak sulung, melainkan yang kedua dan di sana masih ada kakaknya yang hampir sepuluh tahun lebih tua dari padanya.
"Itulah yang selalu mengganggu hati mendiang Ayahmu. Ketika mendengar bahwa Ayahmu akan menikah dengan Ibumu, Bu Song, anak yang keras hati seperti ibunya itu diam-diam minggat pada malam hari dan sampai saat ini tidak diketahui di mana tempat tinggalnya."
Hening sejenak. Tiga orang anak itu merasa terharu. "Apakah Ayah tidak mencarinya, Sukouw?" tanya Sian Eng.
"Tentu saja. Malah tujuh tahun kemudian Ayahmu mendengar bahwa puteranya itu berada di kota raja sebagai seorang pelajar yang menempuh ujian. Nama yang dipakainya tetap Bu Song, akan tetapi shenya she Liu, agaknya ia menggunakan she ibunya."
"Liu Bu Song...," kata Lin Lin, agaknya hendak mengingat-ingat nama itu di hatinya. Entah mengapa, ia merasa tertarik dan ada perasaan simpati di hatinya terhadap Liu Bu Song. Mungkin hal ini karena ia teringat akan nasibnya sendiri sebagai seorang anak pungut yang sudah tidak beribu bapak lagi.
"Akan tetapi ketika Ayahmu mencarinya ke sana, Bu Song sudah menghilang lagi dan sampai sekarang Ayahmu tidak tahu di mana dia berada. Sekarang, Ayah kalian menghendaki supaya kalian pergi mencarinya. Bagaimana pendirian kalian akan hal ini?"
"Sukouw, teecu merasa lebih perlu untuk pergi mencari setan dalam peti mati yang membawa suling itu. Teecu takkan mau pulang sebelum dapat membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibu!"
"Teecu juga!" kata Sian Eng.
"Tentu saja teecu juga," sambung Lin Lin. "Akan tetapi teecu juga akan cari sampai dapat dia itu... eh, Kakak Bu Song."
Kui Lan Nikouw mengangguk-angguk. "Pinni tidak dapat menyalahkan kalian untuk dendam ini, apa lagi kalian hanya orang-orang muda yang berdarah panas. Akan tetapi janganlah kalian terlalu sembrono dan mengira akan mudah saja mencari orang yang hanya dikenal sebagai setan dalam peti yang membawa suling. Hemmm, apa lagi melihat kepandaian orang itu, andai kata kalian dapat menemukannya, agaknya belum tentu kalian akan dapat menang. Oleh karena itu, pinni perkenankan kalian pergi merantau mencari kakak kalian dan juga sekalian mencari musuh besar itu. Akan tetapi, apa bila kalian sudah bisa bertemu dengan musuh besar itu, kalian tidak boleh bertindak sembrono, lebih baik kalian memberi tahu kepada pinni. Kalau pinni mampu, tentu pinni akan membantu kalian. Andai kata tidak mampu, pinni masih dapat minta bantuan orang-orang pandai yang pinni kenal. Berjanjilah bahwa kalian tidak akan bertindak sembrono, baru pinni memperkenankan kalian pergi."
Tiga orang muda itu berjanji akan mentaati pesan ini. Sebulan kemudian, berangkatlah tiga orang kakak beradik itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka menumpang perahu mengikuti aliran Sungai Han yang mengalir ke timur mendengarkan cerita tukang perahu yang gemar berceloteh.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA BERNODA DARAH (seri ke 3 Bu Kek Siansu)
AkcjaCinta Bernoda Darah adalah episode ke-3 dari serial Bu Kek Sian Su yang ditulis oleh A. S. Kho Ping Hoo. Cerita ini menyambung langsung kisah sebelumnya episode ke-2 Suling Emas. Cerita dalam episode ini nantinya akan dilanjutkan dalam episode berik...