PROLOG

11 2 0
                                    

  "Cukup! Diamlah kalian babi-babi bodoh! Tanganku adalah segala benang merah," penyihir tua itu tertawa menggema di kolong-kolong langit. Kekehan setannya terus melekat di sekitar telinga, sangat memekikan.

  "Bakarlah mulut berpenyakit kalian! Kepatuhan adalah kedamaian, tetapi sekarat tak bisa dijilat. Seseorang memecah dinding gaib. Sial akan merajalela! Sembunyi pun percuma saat lidah api dihunuskan. Tak ada yang dapat lari dari takdir. Empat pecahan piring mengiris seluruh pembuluh," penyihir itu menghilang dalam kabut putih tipis, menyisakan kami yang masih terbelenggu di tempat. Dalam germis malam yang jahat ini seringai dan tawa kejinya masih membekas di memori. Kutukan penyihir itu pasti akan menjadi nyata. Namun aku hanya bisa menautkan alis dengan terbengong-bengong.

**

Amor Ordinem NescitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang