1

8 2 0
                                    



Awal dari kisah aneh

Clarissa Aily Amuletto

Hari ini kota yang membeku sedari malam belum juga mencair. Padahal sinar mentari yang menyusup dari celah-celah awan begitu panas terik. Angin sepoi-sepoi pun bahkan serasa menusuk tulang. Gumpalan-gumpalan asap putih yang keluar dari mulut yang tak kunjung hilang di depan wajah bukti bahwa saat ini semuanya masih berada pada suhu di bawah normal. Namun meski begitu seluruh orang di Slorebia City tetap melakukan rutinitas sehari-hari mereka, tak terkecuali aku yang merupakan seorang murid sekolahan. Serempak dengan yang lainnya aku juga menjalani kebiasaan sehari-hari; bersekolah dan belajar rasanya sudah menjadi kewajiban. Jadi meski malas untuk bersekolah karena suhu yang amat gila ini, bagaimanapun aku tak boleh menjadikannya alasan untuk absen sekolah.

Sepatuku mengadukan diri dengan jalanan yang masih terasa licin dan serapuh kaca dengan kecepatan di atas normal. Seiring dengan berlalunya tempat yang kulewati udara yang menempel di sekujur tubuh semakin menumpulkan seluruh saraf. Angin yang terus memecuti tak kunjung memelan akibat cuaca yang tak bersahabat ini. Bahkan karenanya lendir yang berasal dari hidungku beberapa kali nyaris meloloskan diri kalau saja tidak dengan cepat kutarik mereka kembali. Padahal baru beberapa menit aku keluar dari gedung sekolah, tapi memang tak bisa dipungkiri bahwa sensasi udara di sini begitu cocok untuk penguin, bukan aku. Oh.. semoga saja aku bisa sampai rumah dengan keadaan belum membeku.

Kuambil langkah panjang sembari mengetatkan mantel. Di sekeliling sini sangat sepi, yang ada hanyalah beberapa suara alam yang mendengung-dengung dan pepohonan yang rimbun nan menjulang tinggi ke angkasa. Padahal kalau diingat-ingat tempo hari pohon-pohon di sini tak begitu tinggi dan rimbun, malah bagiku mereka terkesan mungil dan kolot. Kurasa juga belum ada sebulan aku tak menjejakkan kaki di Jalan Krotaneus ini. Namun kondisinya yang sudah berubah hampir 50% dari keadaan semula membuatku yakin bahwa Jalan Krotaneus tak pernah diraba lagi olehku selama 90 tahun. Tetapi sedikit terdengar berlebihan juga jika kukatakan, bahwa pepohonan itu bisa tumbuh begitu pesat karena guna-guna. Mungkin hanya imajinasiku saja.

Harus kuakui memang, untuk jalan pulang biasanya aku lebih sering memakai Jalan Velvrora, jalan dekat pusat kota ketimbang Krotaneus. Selain ramai digunakan, di Velvrora juga aku bisa bebas berbincang-bincang dengan teman-teman dan tak mesti bergegas, lain halnya dengan di sini. Tetapi jika ditinjau dari segi jarak, Krotaneus adalah jalan alternatif yang sangat baik supaya aku bisa sampai ke rumah dengan cepat. Namun ada beberapa alasan mengapa aku jarang memakai Krotaneus; Setiap aku melewati tempat ini selalu ada aura aneh yang membuat hatiku sangat gundah. Bahkan kuperhatikan orang lain juga begitu enggan menginjakan kakinya di sini, walaupun sejengkal. Maka kuasumsikan bahwa orang-orang di kota ini juga merasakan aura yang aneh dan mereka tak menyukainya, sama persis denganku. Selain hal tersebut, mama dan papa, mereka sebenarnya melarangku menggunakan jalan timur ini. Katanya di sini berbahaya. Kupikir mungkin karena pemakaman umum terletak beberapa titik di sepanjang jalan Krotaneus, jadi mereka melarangku. Keadaanya memang seperti itu, tetapi untuk beberapa kali aku mesti pulang melalui jalan ini. Situasi dan kondisi adalah hal yang melatarbelakanginya. Terkadang seorang pelajar harus bisa mengelola waktu sebaik-baiknya dan cepat-cepat sampai ke rumah untuk mengerjakan tugas. Oleh sebab itu Krotaneus menjadi pilihan logisku untuk beberapa kali. Dan kali ini alasanku berada di sini adalah tak mau mati kedinginan.

Semakin lama derap langkah membawaku ke sebuah padang rumput luas yang mencerminkan ketidakceriaan. Di sisi kiri padang rumput ini ada sungai dangkal yang airnya hanya setinggi mata kaki, namun berukuran besar dengan arus yang lemah dan air yang jernih. Di seberang sungainya Hutan Privenwood yang penuh akan misteri berdiri kokoh semenjak dulu. Hutan lebat itu dipagari oleh pagar besi kekar berukuran raksasa sehingga terkesan tak bisa diterobos cahaya. Sekilas kulihat hutan itu. Tiba-tiba aku bergidik.

Amor Ordinem NescitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang