Jebakan

17 0 0
                                    

Gadis es batu itu kembali melangkahkan kakinya di halaman kampus. Sebuah kebetulan, ia tidak terlambat kali ini. Ruang kelas kosong, namun beberapa tas telah bertengger di beberapa kursi. Yah, beberapa mahasiswa telah datang mendahului Jiya. Dengan langkah malas, Jiya memasuki kelas tersebut. Lantas, mencari bangku yang pas untuk dirinya. Manik kecoklatan nan tajam tertuju pada kursi pojok deretan paling belakang. Tempat itu adalah tempat favoritnya. Dari awal masuk kuliah, entah kenapa ia selalu duduk di kursi yang sama. Akan menjadi sebuah keajaiban dunia jika gadis itu duduk paling depan dan langsung berhadapan dengan dosen.

Jiya mulai menyandarkan bahunya pada dinding yang tepat berada di sampingnya. Tak lupa earphone terpasang di kedua telinganya. Ia memejamkan mata untuk sesaat.

Beberapa menit kemudian, suara-suara sopran mengganggu konsentrasi Jiya. Sempat ia marah, namun tak diucapkan dalam kata. Bagi Jiya, semua itu hanya akan menyita waktu luangnya. Ia kembali tenggelam pada suara-suara yang keluar dari earphonenya.

*skip*

11.20 WITA

Beberapa mata kuliah telah berlangsung. Dan semuanya Jiya lewatkan dengan tidur. Tepat saat dosen selesai memberikan materi, ia terbangun. Waktu yang benar-benar pas.

Kurang dari satu menit kemudian, terdengar tangisan dari bagian tengah kelas. Nadia, yang merupakan bendahara kelas menangis tersedu-sedu. Pak Revan sedari tadi telah pergi dari kelas tersebut. Andi, sang ketua tingkat akhirnya bertanya.

"Apa yang membuatmu menangis?" tanya Andi.

"Uang kas kelas yang aku simpan di dompet hilang..." jawab Nadia dengan tersedu-sedu.

Spontan seluruh mahasiswa terkejut. Beberapa mahasiswa mencoba menebak siapa pencurinya. Jiya? Ah, dia masih asyik dengan dunianya (earphone sempat kembali ia tenggerkan pada telinganya). Keadaan kelas seketika menjadi riuh. Andi mulai menanyakan kronologi kehilangan dan mulai menginterogasi. Jiya mulai terganggu. Ia tak bisa konsentrasi dengan apa yang ia fokuskan dari tadi. Akhirnya, dengan sengaja tanpa rasa bersalah, ia berjalan menuju ke arah luar kelas.

Hening.

Seluruh mahasiswa terdiam. Mereka terpaku pada gadis tersebut.

"Jiya, tahan sebentar!" perintah salah satu mahasiswa.

Merasakan ada hal yang aneh dari kelasnya, akhirnya ia berhenti dan kemudian berbalik. Matanya mengernyit melihat seluruh mata tertuju padanya.

"Teman-teman, sepertinya saya tahu beberapa hal..."

"Baiklah, ceritakan apa yang kau ketahui!" perintah Andi.

"Jadi, yang datang paling awal tadi itu saya dan Nadia. Ketika sampai di dalam kelas, saya dan Nadia lantas mencari kursi dan meninggalkan tas kami di sana. Saya mengajak Nadia untuk mengambil absen kelas di kantor prodi. Sekembalinya kami berdua dari sana, kami melihat Jiya duduk di kursi favoritnya. Selain dia, tidak ada siapapun di dalam kelas. Mohon maaf sebelumnya jika kata-kata saya terlihat seperti menuduh, tetapi semua bukti mengatakan bahwa Jiya adalah pencurinya!" jelas mahasiswa tersebut yang diketahui ternyata bernama Zizi.

Respon semua mata membulat. Tak kalahnya dengan Jiya. Semua orang mulai menjatuhkan dirinya. Jiya sendiri hanya memutar bola mata malas. Menurutnya, ini hanyalah sebuah permainan biasa. Sebagai orang yang diamanahkan menjadi ketua tingkat, Andi mulai bertindak.

"Jiya, apa benar kamu yang mencuri uang itu?" tanya Andi.

"Nggak" jawab Jiya dengan santai dan mulai berjalan ke luar kelas

Seluruh mata yang menyaksikan apa yang dilakukan Jiya itu sangat terkejut. Mereka semakin yakin bahwa pelaku sebenarnya, pasti Jiya.

"Baiklah. Teman-teman, kita akan terus mencari kemana hilangnya uang itu. Untuk beberapa hari kemudian sampai uang nya ditemukan, saya harap semua masuk kuliah seperti biasa. Yang tidak hadir dalam jangka waktu yang lumayan lama, kita akan langsung menangkapnya dan meminta pertanggungjawaban." jelas Andi.

Perkataan tersebut sedikit membuat Nadia lega. Ia yakin, pelakunya akan diketahui seepatnya. Perihal Jiya, ia tak yakin bahwa gadis itu yang mengambil uangnya. Walau sifatnya seperti itu, ia tak pernah mendapati Jiya melakukan suatu kesalahan apapun. Hal itu juga dirasakan oleh Zikri. Kekhawatirannya membuncah. Gadis itu benar-benar tak perduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Bahkan hal yang menyangkut harga dirinya saja, ia terlihat sangat santai. Diam-diam, Zikri mengagumi sifat Jiya yang satu ini. Atau ternyata, dia khawatir? Entahlah. Zikri bingung dengan pikirannya.

Jiya POV

Kejadian tadi membuatku terlihat sangat bodoh. Wajar saja jika mereka curiga padaku. Yah, aku terlalu mementingkan suara dari earphone ini. Tanpa memerdulikan mereka yang sedang sibuk menerka, mencari, dan meneliti peristiwa tersebut. Yah, mau bagaimana lagi. Aku tenggelam dalam sifat ketidakpedulianku. Dan jika sudah seperti ini, aku hanya akan menyikapinya dengan caraku sendiri. Diam, mendengarkan suara dari earphone sampai aku terlelap.

Kedua hal tersebut tengah aku lakukan di gazebo depan kelas. Sesekali memandangi rumput hijau yang basah dijatuhi air hujan malam tadi. Beberapa pasang mata diam-diam memonitorku. Aku bisa merasakan tatapan sinis dan dingin mereka bak ujung pisau yang baru saja dibeli dari pasar. Tajam. Baiklah. Aku mulai risih. Terlintas dalam pikiran, sebuah ruangan ber-AC dipenuhi buku. Suasana senyap dengan pemandangan beberapa mahasiswa yang tenggelam pada nuansa karya buku yang mereka baca. Sekali lagi kukatakan, baiklah. Aku akan beranjak ke arah perpustakaan.

"End of Jiya POV"

"Back to the class"

Suasana kelas, tepatnya ruangan kecil bertuliskan "Lamut" sejenak menjadi riuh. Tebakan demi tebakan bermunculan dari bibir mereka. Nama Jiya tak luput dari opini jahat mereka. Nadia sendiri berhasil menenangkan dirinya secara keseluruhan berkat Zizi dan Andi. Zizi menawarkan diri untuk menraktir Nadia minuman agar ia kembali ceria lagi. Nadia mengiyakan. Zizi akhirnya menuju keluar kelas dan mulai mencari minuman dingin untuk Nadia.

Sesaat setelah Zizi keluar, ponsel yang berasal dari tas Zizi berdering. Menyadari hal tersebut, Nadia yang notabene adalah sahabat karib Zizi dari kecil memilih untuk menjawab panggilan tersebut. Alangkah terkejutnya ia ketika membuka tas Zizi.

"Ada apa Nad?" tanya Andi

"Andi, ini dompetku!" jelas Nadia sambil mengeluarkan dompet kecil berwarna merah muda dari tas Zizi, ia kemudian membuka dompet tersebut dan merasa bahagia karena uang kas mereka masih utuh di dalam benda persegi panjang berwarna merah muda itu.

"Uangnya masih utuh" jelas Nadia dengan penuh semangat.

Kali ini mereka mulai mengganti nama Jiya dengan Zizi di setiap cerita. Tak habis pikir dengan apa yang terjadi. Zizi yang tadinya dengan jelas mengkambing hitamkan Jiya, kini ia sendiri yang menjadi tersangka. Benar-benar tertangkap basah.

Beberapa menit kemudian, Zizi kembali kekelas. Senyumannya berubah menjadi tatapan penuh keheranan mendapati seluruh mahasiswa di dalam kelas tersebut memandanginya dengan sangat tajam. Andi membiarkan Zizi terlebih dahulu, hingga akhirnya ia diinterogasi. Awalnya ia mendelik. Namun, ia semakin terpojok ketika semua mulai bertanya tanpa membiarkannya menghirup nafas terlebih dahulu. Ia kesal dan akhirnya mengakui kesalahannya. Malu, Zizi keluar dari kelas dan memilih untuk meninggalkan kampus dan pulang.

Ada sedikit rasa bersalah yang tertanam dalam hati mahasiswa kelas PBI A. Mereka telah salah menghakimi orang lain. Tak terkecuali, Andi. Dengan sigap, ia mengajak teman sekelas untuk meminta maaf pada Jiya. Semua setuju. Tanpa terkecuali. Salah satu teman mengatakan bahwa ia melihat Jiya memasuki ruang perpustakaan. Andi akhirnya berjalan ke arah perpustakaan untuk memanggil Jiya dan mengajaknya ke kelas.

Ruangan perpustakaan begitu sepi. Penjaga perpustakaan sedang keluar untuk mengisi bahan bakar perutnya. Samar-samar ia melihat sebuah bayangan di balik salah satu rak buku. Ia tersenyum mendapati Jiya yang sedang tertidur di salah satu meja baca. Namun, sesuatu membuat pemandangan itu menjadi aneh. Zikri tertidur tepat di depan Jiya. Baru saja tangannya terangkat untuk membangunkannya, Jiya telah pulih dari alam bawah sadarnya. Begitupun dengan Zikri. Terdiam terlebih dahulu, mereka mulai menatap satu sama lain. Mempertemukan kedua manik mata. Jiya mulai menyadari ada suatu hal yang aneh dalam diri Zikri. Begitupun dengan Zikri. Andi merasa bingung dengan situasi ini. Ingin segera menyelesaikan acara tatap-menatap itu, Andipun bersuara. Namun, ajakan tersebut tak sampai selesai. Jiya membuat Andi terheran dengan kalimat yang baru saja ia lontarkan kepada Zikri.

"Apa kau memimpikannya?"

S.E.C.R.E.TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang