Hidup layaknya Obat

200 44 54
                                    

Note: Hello Guys! Apa kabar? Untuk yang pernah baca cerita ini, mohon maaf aku ganti ceritanya, karena beberapa alasan 🙏🏻. Aku jamin ini juga gak kalah rame dari yang sebelumnya, bahkan bisa jadi lebih rame🤗🥰.. Jangan lupa untuk tinggalkan jejak kalian dengan cara vote dan comment yaa, share juga ke teman-teman kalian biar banyak yang tau kisah pilu dibalik keceriaan.. Selamat membaca teman-teman🤗🥰💝🙏🏻

****

Aku termenung menatap jendela yang kian tertetesi guyuran hujan. Embun dengan sendirinya tercipta, aku melukiskan tiga orang yang terlihat bahagia kemudian gambar tersebut menghilang karena terpaan hujan dan angin. Persis dengan kehidupanku saat ini, kehidupan yang banyak orang dambakan, namun bagiku ini seperti pil kepahitannya hidup. Petir menggelegar mengejutkan pikiranku yang hanyut dalam kesedihan, tak terasa butiran air keluar dari kedua kelopak mataku, segera kuseka karena takut ada yang melihat.

Aku hidup dalam keluarga yang berkecukupan bahkan sangat. Keluargaku merupakan keluarga terhormat di jakarta ini. Keluargaku memiliki dua perusahaan yang berbeda bidang dan keduanya memiliki cabang di 5 kota dan 2 luar negeri. Perusahaan yang keluargaku jalani adalah dalam bidang Makanan seperti desserts and cakes, dan juga menggeluti bidang Properti, perusahaan utama terletak di ibu kota Jakarta dan memiliki cabang di kota Bandung, Surabaya, Tangerang, Yogyakarta, dan Ambon, serta 2 cabang yang berada diluar negeri yaitu di Amerika dan Korea. 

Memang keluarga terpandang yang bisa dibilang sukses muda. Kehidupan yang bahagia bukan? Kalian salah jika mengatakan bahagia. Iya bahagia jika menilai dalam teori dan materi, namun tak ada kebahagiaan ketika menilai dari kehangatan sebuah keluarga yang semestinya. Jarang mengadakan acara keluarga, jarang bahkan hampir tidak ada kebersamaannya. Mereka sangat sibuk dengan urusan bisnisnya masing-masing. Aku memang pernah merasakan kebahagiaaan yang berlimpah sampai akhirnya kebahagiaan itu perlahan sirna dan digantikan oleh badai.

Orang-orang yang berteman denganku rata-rata anak-anaknya dari teman-teman Ibu dan Ayahku. Aku disekolahkan di SMP ternama di Jakarta, ya aku masih menduduki bangku putih biru akhir. Ibuku merencanakan mengirimku untuk bersekolah SMA di luar negeri tepatnya di Korea, alasan yang utama karena gengsi yang tinggi. Namun, aku menolak karena aku ingin sekali sekolah seperti orang-orang biasa, yang tak diistimewakan hanya karena harta. 

Ah sorry, terlalu hanyut dalam cerita, aku nyaris lupa memperkenalkan diriku dan keluargaku yang terlihat bahagia nyaris sempurna. Namaku Innayah Vishabie Azzahra, aku anak kedua dari tiga bersaudara. Aku mempunyai kakak laki-laki yang bernama Muhammad Syafieq Putra Ramadhan, umur kami gak jauh beda, hanya selisih 5 menit, ya, kami kembar, dan aku mempunyai adik perempuan yang bernama Nafaisya Putri Nirwazati. Kenalkan juga wanita karir yang super duper sibuk sejagat keluarga Nirwasita, dia Ibuku yang bernama Hazel Fazura Izzati yang memiliki arti warna kehijauan dan biru langit yang mulia. Serta seorang lelaki yang tidak jauh beda dengan sosok perempuan tadi, yaps, sibuk. Dia Ayahku yang bernama Laiv Mirza Nirwasita yang berarti Raja yang baik dan Bijaksana. Sekilas perkenalan dari Keluarga Nirwasita. 

Kembali lagi dengan kehidupanku yang sedikit kelam karena kekurangan kasih sayang sosok orang tua. Rumahku terletak di Jalan Mutiara Indah blok M no. 26. Ya, rumah yang bak istana, dikarenakan orang tua kami sibuk, ibu dan ayah menyewa pembantu dan supir yang tinggal di rumah. Kalian jangan berpikir bahwa kami mempunyai pembantu dan supir masing-masing satu ya, karena hanya ada satu pembantu dan supir. Tapi awalnya seperti itu sih, kami memiliki masing-masing satu supir dan pembantu, namun suatu hari perusahaan Ayah mengalami masalah yang mengakibatkan kebangkrutan di perusahaan cabang yang ada di Semarang. Padahal sebenarnya sih masing bisa bertahan dengan keadaan awal toh masih ada 4 cabang kota lagi. Tapi, Ayah bersikukuh mengatakan kami -Aku dan Kakaku- sudah cukup dewasa untuk mengatur diri sendiri, padahal kami masih menginjak bangku merah putih kala itu. Ibu yang awalnya sangat tidak terima dengan keputusan Ayah, akhirnya dengan berat hati menerimanya, karena menjauhi pertengkaran yang disaksikan oleh kami. Hidup itu memanglah seperti obat, ada yang manis dan pahit, terkadang dirasakan secara bersamaan. 

Tepian RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang