-Ketampanan dan kemapanan seorang pria, pasti akan luntur begitu saja kalau memiliki tingkat kepelitan yang tinggi-
Begitu sampai di kantor banyak pegawai yang menyapa Fabian, tapi tidak ada satupun yang menyapa Indira. Perempuan itu sudah biasa diabaikan oleh orang sekitar karena kenyataan dirinya hanyalah seorang kacung Fabian yang dibungkus dengan embel-embel sekertaris--pekerjaannya tidak wajar untuk kategori sekretaris--seperti pekerja serabutan saja dia harus melakukan ini-itu di luar jabatannya. Seperti tadi contohnya, menjadi sopir dadakan.
"Dir, jalan cepat kenapa. Lemot amat sih," gerutu Fabian yang sudah sampai di depan pintu ruangannya.
"Iya, Pak," sahut Indira dengan nada lembut. Perempuan ini langsung berjalan cepat untuk menyusul Fabian.
Indira langsung menyodorkan berkas-berkas Fabian yang dibawanya atas perintah lelaki itu tadi. "Ini berkasnya, Pak."
Fabian berdeham, "Hari ini saya ada rapat sama klien enggak?" tanyanya memastikan.
"Seingat saya enggak, Pak. Nanti saya cek lagi."
"Sekalian dilihat, saya punya jadwal ke luar kota enggak bulan ini."
"Kayaknya enggak ada deh. Kenapa sih, Pak?"
Fabian tersenyum yang langsung membuat Indira mengernyit. Jarang lelaki ini tersenyum manis seperti itu, kalau bukan ada sesuatu yang menguntungkannya.
"Saya mau nikah soalnya dalam waktu dekat ini," katanya dengan santai. Kontan manik mata Indira membulat seketika. Ia tidak percaya kalau Fabian mau menikah. Setahunya, lelaki itu tidak memiliki kekasih, apalagi calon istri.
"Bapak dijodohin, ya," duga Indira dengan mantap. Tidak mungkin ia salah kira, mana sempat Fabian mencari calon istri. Beli keperluan apartemen saja, Indira yang membelikan.
"Ngarang kamu. Emang ini zaman Siti Nurbaya." Fabian tersenyum sinis, "kamu pikir, saya enggak laku, ya."
"Emang harus enggak laku dulu ya, kalau mau dijodohkan?" Indira berkata dengan cuek, tak peduli Fabian tersinggung atau tidak. "Bapak kan super sibuk, mana sempat cari calon istri. Orang beli dalaman saja, saya yang disuruh beli. Padahal, zaman sekarang ada olshop. Oh iya, Bapak kan udah tua, mana tahu cara main shoppe, bukalapak, tokopedia, lazada, dan sejenisnya," cibir Indira dengan senyuman yang tak kalah sinis.
"In.di.ra!" Fabian menunjuk wajah Indira dengan geram, "kamu kok enggak sopan. Saya potong gaji kamu!"
"Ealah, Pak. Mana yang enggak sopan? Bapak itu yang enggak sopan, suruh saya beli dalaman."
"Tadi, kamu ngatain saya tua, terus secara enggak langsung ngatain saya ketinggalan zaman juga." Fabian menatap kesal Indira, "eh, saya cuma sekali titip dalaman. Itu juga gara-gara kesalahan kamu."
Indira menggeleng. "Kok salah saya. Bapak ini enggak tahu terima kasih, ya."
"Ya, salah kamu. Kamu yang asal ngatur jadwal saya. Kan, saya udah bilang kalau sebelum ke luar kota, pastiin enggak ada jadwal rapat di hari itu. Jadi, saya keburu-buru hari itu. Asal packing baju. Kamu juga saya suruh packing baju saya, malah tidur di ruang tamu, setelah nghabisin isi kulkas saya."
"Ya itu kan bukan tugas resmi saya. Lagi pula, salah Bapak enggak kasih makan saya. Saya lapar terus makan, karena kenyang ya tidur. Lagi pula tugas packing itu, ya harusnya tugas istri Bapak, kalau Bapak enggak sanggup. Suruh siapa enggak laku, makanya enggak nikah-nikah."
"Saya bukannya enggak laku, tapi saya pilih-pilih, ya. Kebanyakan yang deketin saya tuh ceweknya pada matre. Kalau ada yang baik udah pada punya gandengan."
Indira menyebikkan bibir, ia yakin itu hanya alasan Fabian. "Pak, cewek matre itu wajar. Kan butuh dinafkahi, wajar kali kalau melek sama duit. Bapak aja yang terlalu perhitungan. Pak, jadi orang jangan terlalu pelit, nanti kuburannya sempit, lho."
"Saya bukannya perhitungan atau pelit, cuma hemat. Hemat pangkal kaya. Kalau pemborosan itu cikal bakal kemiskinan." Fabian tersenyum bangga.
Indira membelalakkan matanya, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Fabian terlalu percaya diri. Padahal ia sangat tahu kalau atasannya ini sangat perhitungan. Pelitnya bukan main.
"Tadi, ngaku pelit. Sekarang, bilang hemat. Terserah deh, Pak. Mau Bapak pelit atau hemat, saya jarang naik gaji. Kapan saya naik gaji?" Indira memasang raut wajah memelas. Berharap ada keajaiban yang membuat Fabian baik hati memberikan kenaikan upah yang sepadan dengan kerja kerasnya selama ini.
"Kalau saya udah nikah, nanti gaji kamu naik sebagai rasa syukur saya."
"Beneran, Pak?"
Fabian menggangguk.
"Kapan Bapak nikah? Nanti saya atur jadwal Bapak sama klien biar enggak tubrukan."
"Saya enggak tahu, pengennya secepatnya. Masalahnya, calonnya belum nemu."
Binar mata yang sempat terlihat di netra Indira meredup seketika. Berganti tatapan lesu. Seharusnya, perempuan ini sudah menduga kalau lelaki seperti Fabian itu tidak punya kekasih. Otaknya hanya berisi uang saja, makanya sibuk bekerja untuk memupuk kekayaan.
"Nah, makanya saya minta tolong sama kamu, cariin saya calon istri. Kalau susah cariin calon istri bohongan biar saya punya gandengan besok waktu ulang tahun perusahaan."
"Emang saya biro jodoh. Saya sendiri saja belum nemu," Indira menekuk wajahnya.
"Ya udah, nikah sama saya aja."
Indira langsung melotot dan menyilangkan tangannya di depan dada, "Nope, Pak. Nope, saya enggak mau."
"Lah kok nolak, sih. Saya kurang apa? Tampan iya, mapan iya, setia iya."
"Pak, ketampanan dan kemapanan seorang pria akan luntur kalau memiliki tingkat kepelitan yang tinggi. '1Baguse mboten kagem, Pak."
...
Ket '1: Gantengnya nggak kepakai, Pak.Tbc...
Proses pemesanan novel + e book
Free tas spond + pouch selama stok masih ada.
Isi format:
Nama
Judul Buku
Jumlah
Alamat
Kode Pos
No teleponKirim ke 087825497438 (WA)
Kirana (Aku Bukan Simpanan) = Rp 65.000
Romantic Drama = Rp 65.000 (Habis)
Ugly Ceo = Rp 68.000
Pernikahan Status = Rp 59.000 (Habis)
Random Wife = Rp 69.000
Romantic Hospital = Rp 65.000
Pernikahan Status = Rp 59.000 (Habis)
Random Husband = Rp 80.000 (habis)
Wanted! Ugly Wife! = Rp 63.000Harga pdf per judul Rp 35.000
Promo 100 ribu dapat 4 judul. 150 ribu 6 judul bisa beli via pulsa
KAMU SEDANG MEMBACA
Random Wife
Romance"Apa-apaan ini, saya kan nyuruh kamu cariin saya calon istri atau calon istri pura-pura kalau sulit. Tapi, kenapa kamu yang jadi calon istri saya?!" "Bapak sendiri yang nunjuk saya asal, bilang kalau saya calon istri Bapak di hadapan keluarga dan ta...