Prolog

10 4 1
                                    

Desember, 2005.

Setiap pagi, setiap malam, rumah ini selalu diselimuti kepedihan, tak ada secuil pun rasa baik-baik saja. Suara rintihan yang keluar dari mulut wanita paruh baya itu akan berhasil menusuk hati siapa pun yang mendengarnya. Bocah 15 tahun yang berdiri di depan wanita itu menyandarkan tubuhnya ke bingkai pintu, tatapannya nampak sendu.

"Ya tuhan, seterkutuk ini 'kah hidupku, hingga kau selalu membuatku sengsara?" wanita itu memukul-mukulkan telapak tangannya ke atas meja. Matanya tidak berhenti mengeluarkan bulir bening.

"Bisa gila aku, gila!" Tangannya menjenggut-jenggut rambut yang sudah menipis.

Bocah lelaki menghampirinya, menjauhkan lengan ibunya dari rambut yang mulai rontok, "sudahlah Bu, jangan terlalu dipikirkan, lebih baik sekarang Ibu tidur saja, sudah larut malam."

Mata wanita itu menatap kosong tembok yang ada dihadapannya, "apa ibu harus mengakhirinya saja?"

"Sadar ibu! Ingat, kau adalah harapanku untuk hidup!" Katanya seraya mengguncang bahu ibunya, genangan air berhasil lolos dari pelupuk matanya.

Wanita itu memandang manik mata anaknya, diusap cairan asin dari pipinya yang memerah, "kau juga harapan ibu satu-satunya, jadilah anak baik yang bermanfaat bagi banyak orang. Jangan seperti ibu, untuk berjalan saja ibu harus dibantu olehmu."

"Bu...jangan berbicara seperti itu lagi, jangan mengakhiri semua ini tanpa aku...aku ingin selalu bersama ibu..." digenggamnya tangan dingin itu dengan erat bersamaan dengan air mata yang kembali berderai.

Dia mengangguk seraya tersenyum, "sudahlah, ibu ingin tidur, kau bisa bantu ibu?"

Bocah itu mengangguk dan meletakan tangan kanan ibunya di bahu kiri, dibopongnya wanita paruh baya itu menuju salah satu kamar yang sangat kecil, langit-langit yang hampir berjatuhan menandakan sudah tidak layak pakai.

Bocah itu membaringkan ibunya di atas kasur yang berukuran sedang, "Aku ingin tidur di samping ibu, untuk malam ini saja, boleh ya?"

Wanita itu menepuk-nepuk bantal yang ada disebelahnya, "tidurlah, sudah lama kau tidak tidur disamping ibu lagi."

Bocah itu tersenyum sumringah. Dia berlari kecil menuju sopa bututnya, diambilah bantal dan selimut yang selalu ia pakai setiap malam. Dia naik ke atas kasur dan beringsrut merebahkan diri disamping kehangatan yang selama ini ia rindukan ketika malam menjelang dingin.

Matanya tertutup sempurna dan menampilkan kegelapan, warna hitam yang selalu membuat penghujung harinya terasa damai. Semuanya masih gelap-gulita sebelum kehangatan itu menghilang, dia membuka matanya, ibunya sudah tidak ada di sampingnya.

Dia menapakan kaki ke lantai yang sangat dingin dan berjalan diatasnya, "ibu..." panggilnya lirih.

Kepalanya memutar kesana-kemari mencari sosok penghangat, "ibu...ibu kau dimana? Tumben sekali dia tidak membangunkanku dulu," kakinya masih menyusuri lantai yang berdebu.

"Apa ibu sedang dikamar mandi?" dia memasuki pintu dapur yang searah dengan kamar mandi.

Ketika kakinya berhasil melangkah melewati dapur, dia kembali memundurkan beberapa langkahnya, memutar badan yang setengah membeku, tatapannya terpaku pada sosok yang menggantung.

"Ibu! Ibu!" Dia menghampiri sosok ibu yang sudah tidak bernapas lagi, lidahnya menjulur sebab menahan tenggorokan yang sakit karena kencangnya ikatan tambang.

"Ibu kenapa kau meninggalkan aku lebih dulu?! Kenapa kau mengakhirinya tanpa aku?! Jawab aku ibu!!" Lutut bocah itu mencium lantai, kepalanya menunduk dalam dengan air mata yang berderai.

Dalam bunga tidurnya pun dia bernasib buruk, sejahat itu 'kah dunia padanya hingga tidak pernah ikhlas berpihak untuknya? Apakah takdir dan nasib itu sama? Jika tidak, ada 'kah salah satu dari mereka yang akan berpihak padanya nanti?

TBC

The Dark WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang