Dan kala itu aku diabai oleh alam. di pinggir kota Bandung, aku duduk bersama malam, dengan seplastik kopi lara kuberkalam. Sudut bulan jadi penerang sang kelam, sambil menyusun kata melukiskan dinginnya malam yang gambarnya tak bisa digambar, amat dingin.
Mungkin karna..
sepi lagi diriku
sepi diriku lagi,
lagi.. diriku sepi, dingin ini semakin dalam. Bagai mengancam dengan timah panas dari sudut malam, namun dingin.Sudah waktunya menutup mata dan meniduri si malam, tapi kopi lara tak mengizinkan mata untuk pamit terpejam. Malah mengajaknya berdiskusi tentang kelam, masa lalu yang menghantui yang buat jiwaku lebam. Bagai dipukuli tukang jagal di pasar daging--pinggir jalan. Kabur? Ayo. Tak mungkin tapi, mungkin mati lebih baik dan pasti. Malam