Awalnya aku tidak tahu siapa dia. Aku bahkan tidak tahu bahwa ada sosok laki-laki bernama Agam di dunia ini. Ya, namanya Agam. Laki-laki yang tanpa sengaja aku kenal di Historia Café saat aku memanggil pelayan untuk meminta bantuannya membersihkan tumpahan Mocacino di mejaku yang tak sengaja aku tumpahkan.
"Biarkan aku yang membersihkannya" dia menggunakan sapu tangannya untuk membersihkan tumpahan moccacinoku.
"Tidak usah Mas, saya tadi sudah panggil pelayan dan sepertinya dia sedang mengambil serbet"
"tidak apa," dia tersenyum dengan mempesonanya.
"apa dia tidak tau kenapa aku panggil pelayan, karena aku malas membersihkannya. Hah, kalo begini kan aku jadi tidak enak hati" umpatku dalam hati. Akhirnya aku mengambil beberapa tissue yang berada di atas meja untuk membantunya membersihkannya.
Dia menatapku dengan senyum mempesonanya. Tapi aku bersyukur, aku tidak terlalu larut dalam matanya.
"Maaf Mbak saya lama, tadi saya sedang mencari kain lap yang bersih di belakang," pelayan yang kupanggil tadi dating, terlambat.
"Never Mind, lagi pula Mas ini sudah membersihkan mejanya" ucapku dengan mata melirik ke arahnya.
"Maafkan saya Pak Agam, karena saya terlalu lama mencari kain lap. Tolong jangan pecat saya" Pelayan itu menunduk.
"Tidak apa, Nina. Silahkan kembali bekerja"
Pelayan itu membungkuk sebelum ahirnya kembali ke pantry.
"haha, polos sekali dia"ucapku seraya kembali duduk di kursiku.
"jadi, kamu pemilik café ini?" tanyaku setelah mempersilakan dia duduk di mejaku.
"Ya, orang tuaku mewariskannya padaku" dia tersenyum miris. Sepertinya dia bukan tipikal pemuda yang suka bersenang-senang dengan hasil orang lain yang berikan padanya.
"aku akan mengganti minumanmu"
"ah tidak perlu. Saya juga harus segera pergi" jawabku tersenyum.
"kamu biasa ke café ini sendiri?"
"No, baru kali ini saya ke café kamu. Bersama seseorang. Dia pulang lebih dulu tadi. Hm, kalau begitu saya juga harus pergi" aku membereskan tasku dan pergi.
"ok, dan ini.." dia meletakkan kartu plastic di meja.
"ini kartu nama saya, dan lain kali jika ada waktu luang temani saya minum kopi, sekaligus saya ingin mengganti kopimu yang tumpah."
"oh, no need. Kopi tadi bukan salah kamu. Itu salah saya karena kurang berhati-hati" aku melirik kartu nama di atas meja. Agam Regan Alghazali.
"saya memaksa, Athala" dia pergi begitu saja.
"what?"
Ini sedikit horor, dari mana dia tau namaku?
# # #
Disini aku. di depan pintu masuk. Ini adalah hari kesebelas setelah insiden kopiku yang tumpah. Apa aku yang menghubunginya? Tentu saja tidak. Kami tidak sengaja bertemu di pusat perbelanjaan kemarin. Aku memasuki café yang kukunjungi beberapa hari yang lalu.
"Mbak Athala?" tanya salah satu pelayan café.
"Iya benar." Jawabku sambal tersenyum.
"Pak Agam sudah menunggu anda di meja nomor 09."
Aku segera mendatangi meja nomor 09 yang disampaikan pelayan tadi. Ya, dia disana, menunggu dengan memainkan handphone nya.
"ehem, permisi. Sudah menunggu lama?" tanyaku basa-basi. Aku langsung duduk dihapadan dia.
"kamu terlambat tujuh menit, Athala"
Ternyata dia menyebalkan.
"Maaf. Tapi sepertinya Pak Agam tau sendiri bagaimana keadaan lalu lintas di kota ini."
"Pak? Please, panggil aku Agam. Dan santai saja Athala. Aku tidak akan mengajakmu debat kusir disini." Dia tertawa dengan begitu menyebalkan.
"Oke Agam."
Ya, dia memang tidak terlalu tua. Mungkin hanya berjarak 3 sampai lima tahun dengan umurku.
"aku ingin menawarkan satu hal kepadamu Athala."
Aku diam
"Menikah denganku."
YOU ARE READING
Leave the Past in the Past
Short StoryAgam, aku tetap mencintaimu dengan masa lalu.