Revan
Saat melihat lampu rumahnya belum dinyalakan Arisya langsung memikirkan ibunya, pasti terajdi apa-apa pada ibunya sekarang pasti ayahnya menyiksa ibunya lagi. Ini sudah kesekian kalinya terjadi, karena ibunya Arisya yang tidak menyukai gelap begitupun Arisya jadi pasti ada sesuatu jika lampu rumah tidak di nyalakan walaupun sudah malam.
Dengan cepat ia turun dari mobil Defano tak perduli Defano akan marah nantinya. Saat memasuki rumahnya benar saja ibunya tengah pingsan dekat sofa ruang tamu, dahinya yang berdarah juga sudut bibir ibunya. Arisya sudah tau pasti ini kelakuan ayahnya dengan cepat Arisya merogo saku seragamnya dan memencet nomor rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit Arisya terus menerus berdoa agar ibunya tidak apa-apa dia terus mondar-mandir sambil menggiti jari kukunya.
" Kamu ga capek Ca mondar mandir kaya setrikaan gitu ?" ucap sesorang yang baru saja keluar dari ruangan rawat ibunya.
Arisya menoleh lalu dengan cepat menghampiri si empunya suara tadi " Ibu gak apa-apa kan ka ?" Tanya dengan cemas.
Cowok yang memakai jas dokter dan stetoskop yang mengantung di lehernya pun tersenyum sambil menepuk puncak kepala Arisya pelan " Ibu kamu gak apa-apa kok."
Arisya menghembuskan nafas lega " Makasih ka, kalo gitu Caca mau nemenin ibu dulu." Arisya lalu masuk ke dalam runagan rawat ibunya.
Revan yang melihat Arisya dari balik pintu pun hanya tersenyum, Revan adalah dokter muda yang biasa menangani ibunya Arisya. Revan dan Arisya terpaut 5 tahun , dia begitu menyukai gadis kuat itu sejak pertama kali melihatnya, saat Arisya membawa ibunya ke rumah sakit karena luka di dahinya gadis bertubuh mungil itu tidak menangis sedikit pun hanya raut wajahnya yang terlihat begitu sedih saat Ibunya terbaring lemas.
***
Arisya duduk di samping ibunya sambil menggenggam lembut tangan ibunya tangan Arisya satu lagi membelai wajah ibunya yang cantik mengusap pelan luka di sudut bibir ibunya.
" Kenapa Ibu kuat ngadepin Ayah sih bu, kenapa ibu milih bertahan. liat sekarang lagi-lagi ibu ketempat yang sama gara-gara Ayah."
Arisya menahan air matanya yang hampir jatuh dia makin mengeratkan genggamannya. Biasanya di saat seperti ini ada Alfi disampingnya yang selalu menguatkan Arisya dan bilang " kamu harus kuat Ca". Arisya teramat sangat rindu dengan cowok itu kemana dia pergi tak ada teman dan keluarganya yang tau yang Arisya tau Alfi pindah keluar negeri.
Getaran ponsel di saku Arisya membuyarkan lamunannya tentang Alfi dilihatnya tertera nama Defina Arisya pun menetralkan suaranya agar Defina tak curiga.
" Hallo Na."
" Hallo Ca, kamu lagi dimana ? temenin aku nonton yuk ?"
" Maaf Na aku ga bisa, aku lagi di rumah sakit sekarang."
" Hah siapa yang sakit ? Kamu sakit ?" terdengar kekhawatiran Defina dari sebrang sana.
" Ibu aku Na."
" Terus gimana sekarang keadaanya ? baik-baik aja kan ? Rumah sakit mana aku kesana sekarang?" bertubi-tubi pertanyaan Defina layangkan hingga Arisya oun menghela nafas berhadapan dengan sahabat yang super cerewtnya ini.
" Na tenang dulu, Ibu aku udah gak apa-apa kok kamu kesininya besok aja ya sekarang kan udah malem nanti aku kasih alamat rumah sakitnya."
***
Setelah menerima telpon dari Defina tak lama Ibunya Arisya sadar Arisya pun langsung memeluknya erat kemudian Arisya memanggil Dokter Revan untuk memeriksa kembali kondisi ibunya.
YOU ARE READING
Sebait Sajak Untukmu
Teen Fictionbiarkan aku menjadi penulis rahasia tentangmu yang diam-diam selalu menulis tentang mu si manusia es yang kejam dengan senyuman yang indah. tulisan demi tulisan akan ku rangkai menjadi sajak yang mungkin entah kapan itu akan kusampaikan padamu. kisa...