Kara's
Gawat.
Kayaknya gue kesiangan.
Kalau nggak karena wangi semerbak panggangan kue buatan Ibu dari bawah, kayaknya gue masih terjebak di alam mimpi. Dengan paniknya, gue segera meraih HP di samping kasur untuk melihat jam dan notifikasi. Udah jam 9. Gue ada meeting jam 10, dan jam segini gue baru bangun.
Pinter banget lo Kaaar ternyata semalem nge-set alarm jam 07.00 PM, BUKAN 07.00 AM!!
Setelah mandi kilat (gosok gigi + siram badan seadanya + pakai deo) dan pakai kemeja mana pun yang bisa gue temukan, gue segera memesan ojek online dan turun ke bawah. Ibu yang kebetulan baru keluar dari dapur, terlihat bingung melihat anaknya yang kayak cacing kepanasan ini.
"Onde, manga paja ko ha.."
"Ibuu maaf Kara buru-buru nih, kesiangan! Kara pamit dulu, yaa." Kata gue sambil mencium tangan Ibu yang masih lengket dengan mentega.
"Loh dak makan dulu? Ibu udah siapin sarapan dari tadi nih, sampai udah dingin tuh nasinya. Pagi tu harus diisi dulu perutnya, Kara.."
"Yah maaf Buu.. Kara ada meeting jam 10, ini udah pesan o-" Yup. She's not even listening.
Ibu yang seketika menghilang barusan, kembali menghampiri gue yang lagi masang sepatu dengan sepiring makanan dan sendok di tangan kanannya. "Nih, paling nggak isi satu sendok. Aaa.."
Inilah Ibu. Sesibuk-sibuknya dia, rasa perhatian ke anak-anaknya gak akan terlewat. Termasuk hal sereceh menyuapi anaknya yang udah seperempat abad ini. Kalau dibandingkan orang tua lainnya yang ingin anak kesayangannya cepat-cepat menikah dan punya anak biar mereka bisa ngemong cucu, lain hal dengan orang tua gue yang seakan ingin anak-anaknya bocah selamanya biar bisa diasuh mereka. Bisa dilihat dari kebiasaan Ibu yang selalu berusaha menyiapkan bekal tiap pagi sampai sekarang, Bapak yang selalu mengingatkan gue dan Ika agar jangan pulang kemalaman, belum lagi kalau Ibu dan Bapak melihat kedua gadisnya ini pakai rok di atas lutut sedikit.. Jadi, sejujurnya gue masih agak kaget dengan keputusan Ibu mencomblangkan anak pertamanya ini dengan seorang pria, sedangkan Ibu sendiri nggak pernah peduli apakah gue punya pacar atau tidak. Yaa.. mungkin karena termakan hasutan teman, mungkin juga karena pantang rasanya menolak anaknya untuk dijodohkan dengan Pangeran Minang.
Setelah menelan suapan ketiga, gue meneguk air putih yang diberikan Ibu. Tiba-tiba, Ibu menanyakan sesuatu yang membuat air yang gue teguk barusan hampir keluar lagi.
"Dek Fajrin kapan mau diajak ke rumah lagi, Kara? Masa sekalinya datang, Ibu lagi gak ada di rumah.. Malah dia yang bawain makanan lagi. Ibu mau gantian masakin dia.."
Walaupun notabene gue dijodohin sama Ibu sendiri, rasa groginya tetap sama kayak waktu gue bawa pacar sebelumnya ke rumah. "Ehm, Iya Bu.. Nanti Kara tanyain dulu ya bisanya kapan. Fajrin lagi dinas ke Singapur sekarang."
"Oh gitu, sibuk juga ya dia. Yaudah, itu ojeknya udah datang. Hati-hati ya, sayang.. HP sama dompet jangan dipegang-pegang gitu, taruh tas aja."
"Iya buu"
"Eeh jangan iya-iya aja, masukin dulu. Ya ampun ini kotak bekal juga belum dimasukin.."
"Iyaaaa nih udah Kara masukin yaa.. Kara pamit dulu!"
Gue pun segera menyambut uluran tangan Ibu, dan mencium punggung tangannya yang hangat, sedikit berkeriput, dan berlumuran tepung ini. Tangan yang paling Kara sayang di dunia.
_____
When you reach 25, you will asking about life more often than before.
Entah itu kerjaan, percintaan, pertemanan, keluarga, pencapaian.. Selama ini gue udah ngapain aja sih? Apakah gue udah di jalan yang benar? Kenapa cuma gue yang belum nikah, sedangkan teman-teman gue udah pada gendong anak? Apakah gue udah bisa bikin Ibu Bapak bangga? Sebenarnya gue kerjain semua ini buat apa?

KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa
FanfictionMeracik berbagai bahan dan bumbu hingga menjadi sepiring rendang yang lezat, Fajrin jagonya. Namun untuk meracik hidupnya agar jadi selezat rendang masakannya, ia butuh satu bahan lagi untuk melengkapinya. Kara namanya.