Kakek

18 1 2
                                    

Suasana desa begitu hening. Terlalu hening bahkan. Sean menarik napas panjang ketika ia sampai di sebuah desa yang lumayan terpencil, agak sedikit jauh dari kota Ponorogo. Desa Indrajaja. Walaupun generasi muda di desa ini telah menganut agama resmi di Indonesia, beberapa tetua yang menjadi sosok-sosok dihormati di Desa tersebut masih menganut animisme, termasuk ayah dari kakeknya. Mereka lah yang James sebut sosok "dukun" yang sakti. Sean sendiri pernah tiga kali mengunjungi desa ini ketika ia masih kecil dan bertemu dengan sosok yang ia panggil "Kakek" itu. Dipanggil "kakek" bukan karena ia adalah kerabat langsung Sean, namun memang begitulah penduduk desa ini memanggilnya. Ia sendiri tak berbicara banyak dengan sosok kakek itu ketika ia mengunjungi desa ini dahulu. Yang ia ingat hanyalah, untuk sosok berusia 90 tahun, sosok kakek tersebut tampak masih seperti 50 tahun. Dan sekarang sudah 10 tahun berlalu, ia benar-benar tak ada bayangan seperti apa sosok kakek tersebut sekarang.

Sean dan James disambut oleh Pak Jati, teman dari Pak Sutrisno, penduduk asli sekaligus supir yang ia sewa untuk perjalanan ekspressnya menuju Desa Indrajaja.

"Mes! Kamu sudah besar ya!" ucap Pak Jati dalam bahasa Jawa. Sean dapat mengerti arti percakapan itu namun ia sendiri tak bisa membalas dengan bahasa Jawa.

"Iya Pak Jati!"

"Dan kamu Sean, sudah lama sekali tidak melihat kamu. Makin tampan saja!"

"Makasih sudah menyambut kami Pak Jati dan Pak Sutrisno." jawab Sean sungkan. Ia merasa bersalah menjawab mereka dengan bahasa Indonesia.

Seolah mengerti isi hati Sean, Pak Jati hanya melanjutkan ,"Sudah kita tak usah banyak basa basi. Hari mulai gelap. Kamu kemari mendadak pasti bukan karena sekedar pengen jalan-jalan. Kakek kamu udah saya kasih tahu kok kalau kamu mau datang. Kasihan kakek menunggu."

Sean agak bergidik mendengarnya. Kasihan kakek menunggu. Seolah dukun tetua sakti ini adalah kakek biasa, padahal ia sangat sakti.

"Iya makasih ya Pak Jati dan Sutrisno."

Sean dan James melanjutkan perjalan dengan agak takut. Jalan didepan mereka adalah jalan kampung kecil yang tertata batu-batu rapih sehingga mudah berjalan disitu walau sudah gelap. Jalanan yang petang itu diterangi lampu minyak. Sean dan James sama-sama merasa takut dan bulu kuduk mereka terasa berdiri namun mereka berdua tak banyak bicara dan hanya berjalan cepat menuju rumah yang tampak agak modern di ujung jalanan tersebut.

Rumah tersebut sudah dibangun dengan bata dan bercat warna hijau, dihiasi oleh lampu listrik yang redup. Disekelilingnya banyak sekali pohon pisang.

"Den Sean, ayo ketok rumahnya." bisik James takut saat mereka sudah sampai di rumah tersebut.

"Iya Mes. Sabar." Sean menarik nafas panjang lalu memberanikan mengetok rumah itu.

Tok. Tok. Tok.

Tidak ada respons.

Tok. Tok. Tok.

Tiba-tiba pintu terbuka.

"Astaga!" Mereka berdua mundur kaget.

Didepan mereka tampak sosok seorang laki-laki paruh baya yang seperti berumur 50-an. Sungguh ajaib kalau mengingat umur asli kakek ini adalah 100 tahun.

"Sean sama James." Kakek itu menyebut nama mereka ,"Ayo silakan masuk." ia melanjutkan.

"Permisi." Mereka berdua melepas sepatu dan melangkah masuk ke dalam rumah kakek.

"Ayo silakan duduk dan dimakan kue keringnya." Kakek itu menunjuk toples berisi nastar dan kacang. "Sebentar saya ambilkan minum."

Sean merasa aneh ketika melihat kakek yang seharusnya sudah renta itu masih dengan santai bolak-balik dapur. Tampak ia masih sehat dan jauh lebih muda daripada umurnya seharusnya. Dan yang lebih ia heran, ia merasakan bahwa rasa takut yang tadi dirasakannya di luar rumah hilang seketika, padahal rumah tersebut tidaklah terlalu terang untuk mendapatkan kesan modern.

Kakek itu menyuguhkan teh hangat di gelas kaca dan ikut duduk bersama Sean dan James. TV tabung yang ada diseberang mereka menyetel siaran RCTI yang jernih.

"Ini Se-An, ini Ja-Mes." Kakek itu menunjuk Sean dan James bergiliran.

"Iya kek."

"Nama anak jaman sekarang susah-susah!" Kakek itu berkomentar mencairkan suasana, tapi Sean dan James hanya tersenyum, tidak yakin apakah harus ikut bercanda.

"Dan kamu Sean, saya tahu kenapa kamu datang kemari."

Suasana menjadi tegang.

"Kamu dikirimin gangguan karena mengganggu properti orang ya?"

MelatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang