Prolog : On A Bright Morning

5.5K 849 112
                                    

Seoul, pagi hari.

Fajar baru saja menyeruak untuk menyapu malam, disambut oleh cuitan burung yang meretakkan sunyi. Hal itu tak pelak membuat banyak orang meninggalkan alam mimpi, beranjak dari kasur untuk memulai rutinitas sehari-hari.

Tapi tampaknya, Seo Johnny bukan salah satu dari orang-orang itu.

Cahaya matahari yang menyelinap masuk dari celah jendela yang tak tertutup korden ia biarkan jatuh menimpa punggungnya. Pula, suara alarm yang meraung-raung dari ponsel di atas nakas pun ia abaikan. Jagat mimpi yang ia jelajahi belum memperbolehkannya untuk menarik kesadaran.

Ha, jelas. Seo Johnny 'kan tengah bergelut dalam mimpi dua lapisnya.

Dua lapis, karena di dalam mimpinya, ia tengah tertidur di atas awan dan bermimpi. Dengan kata lain, mimpinya memiliki mimpi.

Dan sementara Johnny masih lelap dalam tidurnya, pintu kamar bercat putih terbuka perlahan. Suara derit pelan terdengar bersamaan dengan kepala mungil yang menyembul dari balik pintu. Pemilik kepala itu mengerucutkan bibir melihat keadaan si pria Seo, mendorong pintu agar terbuka lebih lebar dan melangkahkan kaki kecilnya untuk masuk.

"Dad, banguun."

Suara khas anak-anak itu disambut dengan hening. Menghentakkan kakinya kesal, anak lelaki berumur lima tahun itu kemudian berlari-lari kecil. Mendekati figur berbalut selimut yang berbaring tengkurap di atas ranjang super luas.

"Daaaad!"


BRUK



Yang terdengar setelahnya adalah suara rintihan keras yang teredam oleh bantal. Si bocah kecil tertawa senang lantaran mendapat respons dari sang ayah, namun Seo Johnny nyaris mengumpat; matahari mungilnya itu menindihnya telak di atas tulang punggung yang belum pulih dari rasa pegal.

"Dad~ banguun, ayo sekolah!" Sekali lagi, bocah lelaki itu bersuara. Telapak tangan gemuknya ditepuk-tepukkan pada punggung sang ayah.

Seo Johnny mengaduh, dalam hati bertanya-tanya dramatis; anaknya itu baru genap berumur lima tahun dua bulan yang lalu, tapi kenapa tenaganya sudah seperti anak kelas lima SD?

Dengan susah payah--karena masih ada sang anak yang memukuli punggungnya agar beranjak bangun--Seo Johnny menolehkan kepala, menatap jam yang terpekur di atas meja. Setelahnya, ia mengerang.

"Ini masih jam enam pagi, Haechan-a~" Johnny berucap dengan suara yang sarat akan keputusasaan. Susah payah ia membalikkan badan, membuat tubuh mungil yang menindihnya terempas ke atas ranjang. Ia lantas membungkus tubuh tersebut menggunakan selimut dan lengan besarnya, berharap si kecil berhenti mengganggu dan memilih untuk terlelap dalam rengkuhan ayahnya.

(Tolong catat bahwa semua ini dilakukan Johnny dengan mata yang sepenuhnya masih terpejam. Sungguh, kelopak matanya terlampau berat untuk diangkat. Ia baru mendapatkan tidur selama tiga jam. Salahkan stasiun televisi yang menyiarkan pertandingan klub sepak bola kesukaannya lewat tengah malam. Terlebih lagi klub jagoannya kalah, dan Johnny menghabiskan waktu selama satu jam untuk memaki para pemain alih-alih memanfaatkan tiap detiknya untuk tidur.)

Tapi sayang, Seo Johnny rupanya tidak mewariskan gen pemalas nan santai pada darah sang buah hati. Bukannya terdiam seperti yang Johnny harapkan, Haechan--putranya--justru menggeliat tak nyaman dalam pelukannya. Satu telapak tangan bahkan mendarat di pipi Johnny dan mendorong wajah itu kuat.

"Nggak! Ayo bangun, dad! Sarapan, mandi, lalu kita pergi sekolah!"

Urat-urat kejengkelan sudah mencuat di sudut kening Johnny, namun ia sekuat tenaga berusaha menabahkan diri. Selimut yang semula ia gunakan untuk menutup tubuh Haechan yang berbalut piyama beruang sudah tercampakkan entah ke mana. Mulut bocah itu terus mengocehkan kata-kata yang terdengar tidak koheren di telinga Johnny sementara kakinya bergerak beringas, membuat Johnny tersudut hingga ke pinggir ranjang--menggeserkan badannya sedikit, maka tergulinglah dia.

"Aku mau main pasir dengan Jeno, main lego bersama Jaemin, main sepak bola, main--"

Merasa gemas sendiri, akhirnya Johnny kembali membungkus Haechan menggunakan selimut yang ia pungut dari lantai, mengangkat tubuh mungil itu ke udara sebelum menciumi perutnya dengan gemas.

"Dasar ya kau ini, yang dipikirkan hanya main terus!"

Haechan tertawa keras. Kegelian sekaligus senang dengan perlakuan ayahnya. Senyum lebar yang memperlihatkan deretan gigi mungil membuat Johnny turut mengembangkan senyum kendati rasa kantuk belum sepenuhnya luruh.

Sejenak, Johnny menahan tangannya yang mengangkut tubuh Haechan di udara. Dan melihat tubuh gempal sang anak yang digulung oleh selimut membuat Johnny nyaris menyemburkan tawa. 'Mirip sushi,' pikirnya.

"Kalau begitu, Haechan-ah," Johnny menurunkan sang anak ke lantai, mengusak kepala bocah itu gemas sebelum melepaskan selimut yang membalut tubuhnya. Menimbulkan tawa yang kembali terurai dari mulut Haechan. "Kita mandi dulu lalu sarapan, oke?"

Haechan mengangguk antusias. Dua mata bulatnya tidak lepas dari sosok sang ayah, memerhatikan bagaimana tangan besar itu membentangkan selimut, bergeser ke tengah ranjang, kemudian---

--tertidur lagi.

"Hanya lima menit."

"Daaaaaaaaad!"



=***=


Next or End? You decide it, dear readers!

Ada yang gemes juga sama mereka juga? Bukan aku doang kan? :"

Jadi ini mini-project aku, yang isinya cuma pure keseharian Johnny-Haechan as father and son. Bakal jadi series yang antar chapter-nya saling nyambung, tapi bisa dibaca terpisah (?). Ya pokoknya di sini ngga akan ada konflik muter-muter dan makan berpuluh-puluh chapter, tenang aja.

Tapi maaf, untuk work ini aku bakal liat respon pembaca buat ngelanjutin. Karena apa? UTANGKU BANYAK :((( jadi kalo peminatnya ngga banyak, mungkin bakal aku stop sampe sini aja dan lebih prioritasin work lain hehehe.

Jadi minta feedback nya yaa manceman :*

Full Sun, and His Loyal SunflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang