Seperti kertas putih aku memulai kisah pada lembaran baru, di tempat baru, bersama orang baru dan tentunya dengan warna seragam baru yang membalut tubuh mungilku saat ini. Dengan wajah masam, aku menatap diriku di depan cermin. Jujur, aku masih kecewa sekali saat tidak bisa diterima di sekolah negeri yang kuinginkan dan sekarang harus terpaksa bersekolah di tempat yang paling kuhindari sejak zaman dulu kala.
"Kezea!" Irsan, sepupuku memanggil namaku dengan nada tinggi. "Ya ampun Ke, apalagi yang kamu tunggu." Irsan kesal melihatku yang masih berdiri di depan cermin. "Ayo berangkat sekolah." Ajak Irsan.
Aku sama sekali tidak mengeluarkan kata apa pun untuk menanggapi ucapan Irsan, sepupuku yang paling menyebalkan di dunia itu. Gantinya, aku hanya mengambil tas ransel lalu memakainya di belakang punggungku dan berjalan menujunya dengan wajah merenggut.
"Pagi-pagi enggak boleh cemberut, nanti langitnya jadi mendung." Irsan menarik kedua pipi berisiku yang mirip bangpau. Aku langsung membalasnya dengan merusak tatanan rambutnya yang sudah rapi, lalu kabur menjauh darinya. Habisnya aku sebal sih, pagi-pagi sudah cari masalah samaku.
Kami berdua menempuh perjalanan ke sekolah dengan berjalan kaki, karena jarak dari rumah ke sekolah cukup dekat, hanya perlu menghabiskan waktu sekitar 15 menit. Seperti biasa perjalananku sangat berisik. Aku paling tidak bisa rukun sama sepupuku yang satu ini. Setiap kali bertemu bawaannya mau ajak berantem saja. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya, jika kami berada satu sekolah selama tiga tahun. Mungkin sekolahnya akan hancur kali ya?
Halaman sekolah sudah dipenuhi para siswa baru. Sungguh, aku kurang suka sama keramaian, terlalu berisik. Karena sekolah baruku ini masih dalam kawasan sekecamatan yag sama dengan sekolah SD dan SMP, kemungkinan besar bakalan bertemu dengan wajah-wajah yang aku kenal. Setidaknya satu atau dua orang teman dari SD maupun SMP, pasti bakalan bersekolah di sini juga. Irsan datang menghampiri diriku yang duduk di koridor sekolah, ia memberikan aku sepotong roti dan sebotol air mineral.
"Tadi kamu belum sempat sarapan kan?"
Oya, sekedar informasi sepupuku yang paling menyebalkan sedunia ini, kadang-kadang bisa menjadi orang yang paling pengertian sedunia juga. Aku teringat waktu kami SMP, dia mengalah tidak jajan dan lebih memilih menggunakan uangnya untuk membelikan es krim untukku. Beberapa hari yang lalu, saat kutanya kenapa dia melakukan itu, katanya agar aku berhenti menangis. Itu sangat memalukan. Semua orang menatapnya tajam, seakan-akan menuduh dia-lah yang membuatku menangis.
"Aku enggak bisa sarapan pagi-pagi kali."
"Jangan dibiasakan, enggak bagus buat kesehatan."
Baru segigit roti yang tertelan, bunyi bel sudah memanggil menyuruh seluruh baik siswa baru maupun siswa lama berbaris di lapangan sekolah. Aku menyimpan sisa rotinya ke dalam tas. Lalu, segera melangkah menuju lapangan. Seorang siswa lelaki dengan rambut berwarna pirang memasuki lapangan bersama seorang guru yang aku belum tahu siapa namanya. Baju siswa itu tampak tidak rapi karena tidak dimasukan ke dalam celana. Sepatunya pun berwarna merah.
Lalu, siswa itu berbalik menghadap kami. Siswa tersebut menatapku tajam. Aku membuang muka darinya, melihat apa pun yang bisa dilihat, asal jangan dia. Semesta, kenapa kau jahat sekali padaku? Kenapa kau mengirimkan dia ke dalam ceritaku?
"Anak-anak, sebagai seorang siswa yang bersekolah di sini, sudah semestinya kita harus mengikuti peraturan yang ada di sekolah. Berpakaianlah yang rapi. Bagi yang laki-laki masukan bajumu ke dalam celana, yang perempuan masukan ke dalam rok. Gunakanlah sepatu hitam bertali. Tata rambut hitammu yang rapi. Apa pun yang terlihat rapi akan indah dipandang. Bapak ingin siswa-siswa dipuji elok oleh orang lain. Jadilah siswa yang selayaknya siswa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zea & Pram
Teen FictionKarena aku dan dia bagaikan koneksi yang tidak bisa terprediksi oleh medan magnet.