"Sakit, sakit."
Ranjang rumah sakit berderit kencang. Badan orang itu bergetar hebat. Menahan segala sakit organ dalamnya. Orang tuanya hanya melihat nanar. Ucapannya juga hanya sebatas nafas.
"Iya. Maaf ya mas. Papa yang salah. Papa minta maaf."
Pria paruh baya berdiri di sebelah anaknya. Mimiknya tidak tertebak. Beliau selalu menangis dan menghapus elu nya saat hendak masuk ruangan.
"Suster, sakit suster. Sakit!"
Pasien itu semakin menjadi. Teriakannya menggema. Memaksa pergi pasien di sebelahnya yang takut untuk keluar ruangan.
Darah kembali mengalir di saluran pernafasannya. Bercak merah membekas di seprei dan lantai yang putih. Meninggalkan kenangan pahit.
"Bu, ini gagal ginjal. Harus segera cuci darah. Kita untuk memastikan penyakit lain, harus cuci darah dulu. Untuk persetujuannya, kami butuh tanda tangan ibu."
Suami istri saling menatap. Ke dua alisnya tertaut. Jemarinya sibuk saling menggesek.
"Iya suster. Tapi kami ada kendala di biaya."
Perawat muda itu menghela nafas. Berat rasanya mendengar kata itu sering terucap di bibir pasiennya.
"Gimana kalau nanti ibu cari dulu uang untuk cuci darah hari ini. Selanjutnya perawatan mendatang bisa sambil ngurus BP*S biar kita sama-sama enak."
Ketiganya diam. Suami diam. Istri diam. Samar terdengar lagi erangan dari kamar anak mereka.
"Mau kami bawa pulang saja suster."
Istri berucap lirih. Sorot matanya dibalas dengan tatap tajam perawat rumah sakit.
"Bu! Ini itu kemungkinan gagal ginjal. Paru-paru pasien juga sudah bengkak, makanya mengeluarkan darah terus. Kalau tidak segera cuci darah, racunnya tidak bisa keluar. Ini bahaya bu. Kita ini berpacu dengan waktu. Kalau tidak segera ditangani paru-paru itu nanti nggak bisa mompa udara lagi. Nggak bisa berfungsi. Ibu tahu kan maksudnya paru-paru nggak bisa mompa oksigen itu apa?!"
"Kami bawa pulang saja suster."
"Sakit, sakit."
Suami istri masuk kembali ke ruangan anak mereka. Seorang pemuda 30 an tahun yang terbaring setengah sadar di ranjang.
"Mas-"
"Sst... bawel."
Si Ayah terdiam melihat interaksi istri dan anaknya.
"Keluar."
Lirih si anak menitah ke ibunya. Jangankan berucap. Bernafas saja ia masih kesulitan walau dengan bantuan selang oksigen.
Pasrah ketika tubuhnya di pindahkan untuk kembali ke rumah.
Menjelang gelap. Matahari turun ke bagian bumi lain. Meninggalkan kegelapan di sebuah rumah yang tengah berduka. Si Ibu berteriak histeris melihat anak sulungnya telah dingin tak bergerak. Meraung di lantai pinggir ranjang anak pertamanya. Bahkan bibirnya serasa ingin sobek. Ia ingin melampiaskan luapan emosinya.
Si suami terdiam kaku di samping dua orang terpentingnya. Lembar memori seakan menampar wajahnya kasar. Di usia yang bahkan belum memberikan cucu, jagoannya telah berpulang.
Ia terlambat untuk menyelamatkan nyawa berharganya.
Memori dua minggu lalu kembali menjilatnya.
Di saat jauh-jauh beliau pergi ke kota lain puluhan kilometer jauhnya hanya untuk mengubur telur dan memetik daun. Ia berharap besar jagoannya lekas sembuh.
Atau saat sebulan yang lalu ketika mereka pertamakali datang ke rumah sakit dan untuk pertama kalinya juga mendapat anjuran cuci darah. Namun tidak pernah dilakukan. Sebagai gantinya, bunga melati tersebar di setiap pojok rumahnya.
Gambar-gambar itu meledeknya habis. Waktu yang telah ia sia-siakan ternyata mendendam. Uang yang tidak seharusnya masuk ke kantong orang kepercayaannya dan terbuang untuk sebutir telur menyombong. Seharusnya cukup untuk cuci darah. Seharusnya.
"Bu, katanya anaknya sakit, harus cuci darah ya?"
"Itu kata dokter, tapi kalau kata Bang Iwan suruh ke kota A buat buang penyakitnya di sana."
"Bu katanya anaknya masuk rumah sakit. Sakit apa?"
"Enggak. Itu kata Bang Iwan kena kiriman dari saudara saya. Kekuatannya jauh lebih besar. Kalau di halau nanti anak saya yang satunya juga ikut kena."
"Bu, saya dulu pernah kehilangan dompet dan sempat mau pergi ke dukun. Tapi ke dukun aja belum malah uang kantor saya hilang. Jangan terlalu percaya sama dukun lah. Toh mereka juga cuma manusia sama seperti kita."
"Bu. Saya itu nggak pergi ke dukun. Bang Iwan itu bukan dukun. Saya kan cuma untuk pertahanan diri. Nggak untuk mencelakai orang lain!"
Dasar pembunuh. Sosiopat.