BAB 1 - Ice Cream

204K 4.7K 76
                                    

"Nih ice cream," Kirana menyodorkan ice cream di depan Lanna yang kesal karena nyasar dan terpaksa berkeliling Jakarta dengan peluh yang berjatuhan. Astaga panasnya Jakarta!

Lanna mengambil ice cream rasa cokelat dan langsung memakannya tanpa tedeng alih-alih. Kirana tersenyum melihat sepupu sekaligus sahabatnya itu tampak seperti anak kecil yang ngambek dan diberi ice cream langsung diam. Emang dasar anak kecil!

"Kan, tadi aku bilang naik ojek online aja." Kirana duduk di lantai dengan posisi berbaring santai, mengambil remote dan menyalakan televisi. Dia baru pulang kerja lima menit lalu dan mendapatkan tamu terhormat bernama Lanna Davina yang meringkuk di depan pintu apartemennya dengan koper hitam, tas ransel dan rambut kuncir kuda acak-acakkan. Wajah kecut, asem, pedas manis.

"Aplikasinya eror." Sembur Lanna. Dia menjepit rambut hitamnya asal dengan jedai. Menatap sedih pergelangan tangannya yang menghitam. Baru dua jam tapi sudah gosong gini kulitnya seperti pantat panci. Jakarta ganas.

"Jadi kamu mau kerja di mana?" tanya Kirana. Sebulan yang lalu, Lanna menelponnya dan menyatakan dirinya lulus dengan predikat cumlaude dan berniat bekerja di Jakarta dibandingkan dengan tempat lahirnya di Bandung. Bandung sekarang tidak beda jauh dengan Jakarta. Sama-sama panas dan sama-sama macet luar biasa. Apalagi pada saat weekend.

"Di tempatmu nggak bisa?" Lanna melumat ice cream yang tinggal setengah.

"Yakin mau?" ujar Kirana seraya mencondongkan wajahnya pada Lanna dengan mata berkedip-kedip aneh. Lanna mendorongnya menjauh takut-takut kalau Kirana berubah jadi vampir dan menggigitnya ngeri. Fantasi yang aneh dan cukup nyeleneh.

"Memangnya kenapa?" dia kembali melumat ice cream.

Kirana merapikan rambut sebahunya dengan jari. "Memang lagi ada lowongan, sih. Tapi perusahaan aku, tuh, bosnya..." Kirana membiarkan kalimatnya menggantung.

"Bosnya kenapa? Galak?" tebak Lanna polos.

Kirana menggeleng membiarkan Lanna penasaran.

"Bosnya centil?"

Kirana kembali menggeleng.

"Bosnya punya catatan kriminal?"

Lagi, Kirana menggeleng.

"Bosnya aneh? Suka ngupil, jajan sembarangan, buang sampah sembarang—"

"Stop!" Potong Kirana sebelum Lanna ngomong yang makin aneh-aneh lagi.

"Terus apa, Kir?"

Kirana melepas kacamatanya, menatap kasihan Lanna. "Bosnya ganteng. Aku takut kamu nggak tahan, Lan." Ekspresi wajah Kirana aneh. Dia bilang 'ganteng' tapi wajahnya tampak meringis ketakutan.

Lanna terkekeh. "Apaan sih, nggak tahan kenapa lagi?" celoteh Lanna setelah tawanya mereda.

"Lowongannya jadi sekretarisnya si Bos. Kamu bakal sama dia terus menerus."

"Lalu?" sebelah alis Lanna melengkung.

"Dia perfectionis." Kirana mengangkat alisnya tingi-tinggi sembari menakut-nakuti Lanna.

"Aku bisa lebih perfectionis dari dia. Aku bisa mengimbangi dia kok. Dia gila kerja? Aku juga gila. Gila dalam banyak hal." Lanna tersenyum lebar ala senyum jokernya.

"Semua karyawan yang jomblo bakal cemburu sama kamu."

"Hahaha," Lanna tertawa keras hingga Kirana menutup telinganya.

"Memangnya aku secantik Selena Gomez?"

Kirana menghela napas. Dia mengenal Lanna dari kecil. Mereka sekolah di sekolah yang sama dari SD dan kuliah di universitas sama dengan jurusan berbeda. Kirana sebagai kakak tingkat karena perbedaan usia dua tahun. Lanna mengambil jurusan bahasa dan sastra sedangkan Kirana jurusan akuntansi. Meskipun Kirana di Jakarta selepas lulus tapi mereka selalu saling mengabari. Ikatan persaudaraan dan persahabatan membuat keduanya begitu menyatu. Empat hal yang selalu Kirana ingat tentang Lanna; buku, kopi, ice cream dan bunga lavender. Dan lihat apa yang dibawa Lanna ke Jakarta, 10 buku disimpan di tas ranselnya.

"Oke, besok kamu ikut aku interview. Jangan kaget sama bosnya ya."

"Haha, cepet banget besok langsung interview."

Kirana tersenyum, tapi yang dilihat Lanna bukan senyum dengan isyarat baik tapi senyum ganjil yang seakan-akan ditutup-tutupi.

"Ngomong-ngomong di kantor kamu ada yang jual ice cream kan? Jakarta panas."

Kirana memutar bola mata. "Kalau di kantor adem kali, Lan."

"Tapi, kan, di luar panas. Abis panas-panasan makan ice cream, kan, enak."

"Iya, enak. Lebih enak lagi makan ice cream sambil lihat muka bos."

"Uh, setampan apa sih bosnya? Jadi penasaran."

"Jangan jatuh cinta, Lann." Kirana menatap Lanna.

"Tahu mukanya aja belum gimana mau jatuh cinta." Lanna kembali melumat ice cream.

Kirana membayangkan Lanna tahu wajah bosnya. Ada dua kemungkinan yang terjadi saat Lanna benar-benar tahu wajah dan karakter bosnya antara seperti cacing kepanasan atau seperti ulat bulu. Kirana terbahak.

"Kenapa?"

Kirana menggeleng. Dia menguap. "Rasanya aku udah ngantuk berat. Kamu kalau laper tengah malem ada mie instan, bubur instan dan bumbu-bumbu instan di dapur ya."

"Belum malem, Kir."

"Aku kan kalo tidur sore. Hooooaammm!" Kirana bangkit dan melesat memasuki kamarnya.

***

Pukul sembilan malam. Lanna mencuci piring di wastafel dengan hati riang gembira karena besok dia akan langsung di interview bos besar. Jadi, untuk malam ini dia akan memperkenalkan diri dengan suara yang manja. Ralat, suara yang tegas. Ralat, suara yang mengesankan.

"Aku harus membuktikan kalau aku layak bekerja di kantornya Kirana. Aku harus bisa lulus dan diterima di sana." Lanna berdeham. Dia akan latihan mengatur intonasi suaranya. Lanna mengoceh mengenai dirinya sendiri sambil mencuci piring dan mata menatap ke jendela. Ocehannya memiliki nada dan tiba-tiba dia terdiam. "Kok malah jadi kaya penyanyi opera sih." Dia menepak jidatnya seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Selesai mencuci piring Lanna memilih tidur. Sebelum tidur dia biasa membaca buku dan buku yang saat ini sedang dibacanya adalah buku Totto Chan. Buku yang sudah berkali-kali dibacanya dan menguras air matanya. Setelah membaca Totto Chan lebih dari sepuluh halaman, Lanna membaca kitab suci kecil yang dihadiahkan ibunya sewaktu dia ulang tahun ke 17. Dia selalu membawa kitab suci itu kemana pun dia pergi karena bentuknya yang kecil dan mudah dibawa kemana-mana.

Setelah membaca beberapa ayat, Lanna mencium kitab suci sebelum menutupnya. Itu adalah kebiasaan yang disukai Lanna. Lanna mengangkat kedua tangannya. Matanya terpejam.

"Ya Tuhan, aku mohon kepadamu agar esok menjadi hari yang lebih baik untukku. Ma'afkan segala kesalahan yang aku perbuat hari ini dan aku berharap agar aku diterima bekerja di kantor Kirana, amin." Doanya dalam hati. Lanna menarik napas perlahan, tersenyum dan berbaring. Dia menarik selimut.

"Selamat malam para bintang." Dia memejamkan mata.

Bintang di langit Jakarta berkedip-kedip indah. Ada satu bintang yang paling bersinar bernama Sirius. Sirius bersama dengan Procyon dan Betelgeuse membentuk sebuah asterisma. Dan seorang pria berhidung mancung menatap bintang itu dengan tatapan yang menyipit lewat jendela ruangannya di lantai enam belas.

***

Di awal udah gimana gitu yak wkwk :D

Kalian yang udah vote dan komentar, thank you ^^

Married By Contract [Completed√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang