Layaknya nuansa sebuah berita duka cita. Mendung. Kelabu. Suhu udara yang menusuk sendi. Aroma embun yang merongrong paksa masuk ke dalam lubang hidungku, hingga mampu menarik untuk kembali menuju kepulan mimpi di atas kasur tadi malam.
Rasanya pagi Sang Surya yang memberikan semangat, sedang malas jua dan enggan membuka tirai jendelanya seperti jendela kamarku pagi ini.
Atau aku yang terlalu apatis untuk sejenak bisa menikmati semangat pagi seperti kebanyakan anak diusiaku.
Aku menguap sejadinya setelah turun dari bus jalur 15 yang biasa mengantarkanku tepat di halte seberang sekolah. Juga semalasnya naik-turun puluhan anak tangga JPO. Lebih memilih membahayakan usia manusia yang baru akan genap 16 tahun.
Berusaha sekilat menghilang untuk melewati seorang pria yang berusia lebih dari sepertiga abad, dengan tubuhnya yang gempal, dilengkapi dengan jangka kayu berukuran 60 centimeter yang biasa digunakan untuk menggambarnya lingkaran untuk pelajaran Matematika. Dia Pak Antang, Wakil Kepala Sekolahku, Wali kelasku dan sekaligus musuhku.
Rasanya seperti ada yang ganjil, aku merasa tidak melewati bibirnya yang mengerut karena berusaha menangkap ranselku untuk segera menarik rambut dipelepis kananku karena kemejaku yang tidak aku masukkan.
Tidak juga melihat senyum bahagia Pak Antang ketika bel sekolah berbunyi, dan suara roda tarikan roda gerbang mengiringi lalu akan terlepas begitu bahagia ketika melihat gembok gerbang sekolah sudah dikaitkan.
Entah pagi ini memang bukan hariku yang seperti biasanya atau memang perasaan yang sedari tadi aku alami adalah sebuah keganjilan.
Pandangan putih menyeruak begitu jelas setelahnya, hingga kepala bagian belakangku seolah terantuk keras ke tanah.
"Ciiiit," decit keras suara ban mobil yang terhenti secara mendadak, mengalihkan puluhan pasang mata yang berada disekitarku serta suara terakhir yang mampu aku dengar.
Samar-samar terdengar setelahnya, bahwa seseorang. Bukan, dia seorang wanita yang tengah berbisik ditelinga kananku, "Aku akan menjadikanmu alam semestaku."
"Baiklah," jawabku secepatnya lalu berusaha menoleh kearah datangnya suara dibalik layar putih yang begitu menyilaukan, tetapi sia-sia. Disaat yang sama pula seseorang mengalungkan lengannya dengan lengan kiriku. Seketika putih yang menyilaukan itu kembali kepada pemandangan keseharianku, ruang kelas XI C seperti biasanya.
Entah apapun itu, sepertinya aku juga sudah gila. Mengiyakan omong kosong remaja seusiaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Universe [EDITED]
RomanceDia, seorang wanita yang tidak benar-benar pernah aku ingat menjadi teman sekelasku, ingin menjadikanku sebuah alam semestanya. Aku, seorang pria yang tidak benar-benar menyadari bahwa seorang wanita yang tidak benar-benar aku ingat pernah menjadi t...