Part 1

12 2 0
                                    

Malam itu hujan deras, listrik pun padam. Ibu kos ke kamarku dan memberitahukan bahwa ada dua orang laki-laki yang mau menemuiku. Aku pun sempat bertanya-tanya, siapa yang datang di malam gelap dan hujan begini? Segera kukenakan jilbab, kerudung dan kaos kaki.
Ruang depan adalah sebuah pendopo yang tak berdinding. Angin dingin pun berhembus menusuk raga. Cahaya dari Lilin yang kubawa pun samar-samar telah memantulkan dua sosok wajah yang ada di hadapanku.
Sosok lelaki pertama itu sangat kukenal. Dia adalah kakak tingkatku yang sudah lulus. Sang muallaf yang setelah muslim justru bisa berislam kaffah. Salah satu inspirasi hijrahku.
Sosok lelaki kedua tak kukenal. Beliau lebih berumur. Memoriku gagal menggali informasi apapun tentang beliau.

Belum juga aku duduk, suara lelaki pertama sudah menghentikan langkahku.
"Mama bapak ada kan de? Tolong ajak ke sini"
Dari mana beliau tau bahwa ortuku datang menjengukku. Akupun mematuhi permintaannya. Singkat cerita, akhirnya orang tua ku bertemu dengan mereka berdua.
Ternyata, lelaki kedua bertindak sebagai penyambung lidah lelaki pertama yang bermaksud hendak melamarku. Jelas dengan tegas orang tuaku menolaknya. Karena saat itu aku masih berstatus mahasiswi, baru semester 5.
-------------------
Waktu terus berlalu. Peristiwa malam itu tak pernah menjadi pikiranku. Kami tak pernah bertemu lagi. Tak ada kontak lagi. Karena dulu komunikasi hanya via telepon rumah. HP pun hanya bisa sms dan telepon. Dan yang memiliki HP hanya orang-orang yang duitnya berlebih. Dulu, HP adalah barang mewah, seperti mobil. Sekarang HP seperti kacang dan sudah jadi kebutuhan, bukan lagi pelengkap.
Fokusku adalah untuk segera menyelesaikan kuliah. Aku sudah rindu Samarinda. Aku ingin segera mengajar, mengamalkan ilmu yang kudapat.
--------------------
Setahun pasca peristiwa malam itu, sepucuk surat sampai ke tanganku. Isinya menyatakan ingin menikahiku, dari lelaki yang pernah datang melamarku di malam listrik padam itu.
Saat itu aku sudah menyelesaikan skripsi dan menunggu yudisium.
Kutantang kesungguhannya melamarku, kubalas surat beliau dengan tulisan: "jika serius, silakan temui orang tua saya di Samarinda. Jangan menunggu orang tua saya datang ke Banjarmasin".
Saat yudisium dan wisuda, orang tua ku datang ke Banjarmasin untuk menyaksikan anak sulungnya memakai toga.
Beliau datang menemui orang tuaku, menyatakan maksud untuk menikahiku. Kali ini beliau bersama rekan aktivis dakwah yang kutau adalah teman seangkatan beliau waktu kuliah.
Orangtua ku pun menjawab lamarannya dengan argumen menolak secara halus. Kami mau bawa pulang anak kami dulu setelah 3,5 tahun jauh dari kami.
--------------------

Napak Tilas Sang Pejuang CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang