Bagian 3

5 1 0
                                    

Suatu malam pasca kedatangan lelaki tersebut. Aku dan orang tua duduk dan ngobrol santai di ruang tamu. Kusampaikan berita gembira bahwa ada 3 sekolah yang memanggilku untuk mengajar di awal tahun ajaran baru nanti. Dan tak mungkin kuterima ketiganya, mesti ada salah satu yang aku gugurkan. Apalagi les privat pun masih terus lanjut.

Tetiba Bapak bertanya padaku:
"Ta, mau lanjut S2 kah? Bapak dukung aja."

Hmm, sebuah tawaran menarik pikirku. Tapi...
Aku ingin mengamalkan ilmu dulu, merasakan bagaimana jadi seorang guru. Kupikir, kalau kepentinganku hanya untuk mengajar di sekolah, cukuplah gelar S1 ini. Lain bila kuingin menjadi dosen, tentulah S2 harus kukejar.

Dan... Aku merasa sudah di khitbah seseorang. Entah ada bisikan dari mana. Atau mungkin sugestiku. Suatu saat akan kuraih S2 bersama suami.

Belum sempat kujawab pertanyaan Bapak tadi, mama pun ikut bertanya: "Pian pilih S2 atau menikah?"

Dengan mantap kujawab: "Ulun pilih menikah".

Mama melanjutkan pembicaraan: "Pian tau kan kriteria memilih pasangan hidup berdasarkan hadits Nabi?"

"Inggih. Pilihlah karena wajahnya, atau hartanya, atau keturunannya, atau agamanya. Dan yang terbaik adalah karena agamanya." Jawabku.

"Dan apa yang ita liat dari lelaki itu? Bukankah dia seorang muallaf, kalau ita mau melihat dari agamanya. Tau aja kan seapa gerang ilmu agama seorang yang baru masuk islam." Mama mencoba berargumentasi.

"InsyaAllah beliau baik agamanya, Ma." jawabku meyakinkan.

"Apa yang bisa membuat pian yakin?" Mama bertanya dengan dahi berkerut.

"Karena sidin aktivis dakwah. Yang namanya aktivis dakwah itu mengajak orang selalu ingat kepada Allah, pastilah dirinya duluan yang selalu mengingat Allah. Aktivis dakwah tu mengajak orang lain untuk terikat dengan aturan Allah, pasti dia duluan yang terikat dengan hukum-hukum Allah." Jelasku normatif.
Mama masih melihatku, seperti meminta penjelasan.
Aku pun melanjutkan.
"Mama sayang, ulun takkan pernah takut suami selingkuh. Krn aktivis dakwah tu selalu merasa Allah selalu mengawasinya dimanapun dan kapanpun. Ulun jua kada takut hak-hak ulun kada dipenuhi, karena sidin paham benar kewajiban sebagai suami." tambahku.
Mama tak membahas lebih lanjut.

Kupikir cukup lobianku ke mama untuk malam ini.
-------------------
18 Juli 2003, kembali lelaki itu datang ke rumahku. Dan kembali beliau mempertanyakan lamaran beliau tersebut.
Mama menjawab: "Tunggu Ita jadi PNS".
Entah keberanian atau memang sudah waktunya untuk berargumentasi, beliau pun tak lagi diam saja mendengar jawaban mama.
Lelaki itu berkata: "Ma, ulun minta maaf. Seingat ulun, yang namanya maut, jodoh, dan rezeki itu ada di tangan Allah. Menunggu Ita jadi PNS sama aja menunggu ajal.

Mama pun beranjak dari tempat duduknya.
-------------------------------

Napak Tilas Sang Pejuang CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang