01

121 24 0
                                    

Gubrak!

“Aduh.”

“HAHAHA.”

Tawa menggema, membuatku tersenyum malu ketika mencoba bangkit. Lagi-lagi, aku lalai untuk hal-hal sederhana. Bahkan aku tidak melihat jika ada kursi di hadapanku.

Satu-satunya alasan mengapa aku seperti ini; bertindak bodoh, melupakan hal-hal disekitar, mengabaikan apa yang sekarang terjadi, menyi-nyiakan waktu yang tidak mampu aku ulang lagi adalah kamu.

Mereka—Mbak Dilla, Mas Raka, Mas Veron, tidak pernah tahu apa yang terjadi padaku saat ini, bahwa kehilangan seseorang yang berarti bagiku seperti dipaksa untuk menyerahkan surga ke tangan orang yang kamu benci.

“Tuh ‘kan, jatuh lagi. Nggak fokus Cantik.”

Mas Veron geleng-geleng, “Kemarin saya suruh apa, Cantik? Bikin laporan presentasi dengan PT Askara, Bukan perusahaan Angkasa.”

“Kamu mikir apa sih sebenernya? Kenapa  nggak pernah cerita ke kita-kita? Siapa tahu kita bisa bantu. Dan kalau pun nggak bisa bantu, kami akan jadi pendengar yang baik buat kamu.”

“Makasih, Mas Raka, Mbak Dilla. Tapi aku nggak pa-pa kok.”

Rasanya lucu ketika dibilang... Aku ini sudah mati. Hanya punya raga dan nyawa, sementara hatiku mati rasa, sudah tak ada—sebab sudah kamu bawa lari entah kemana. Kamu pergi bukan hanya meninggalkan kenangan, kamu pergi meninggalkan luka karena hatiku ada padamu.

Maka dari itu aku malas bercerita dengan Mas Raka dan Mbak Dilla, terlalu takut untuk dikatakan bucin. Mas Veron sendiri, dia sosok dingin, entah bagaimana Mbak Vanila menyikapi suaminya yang super-duper cuek. Tapi... Mas Veron itu mirip sekali sama kamu. Kadang, aku suka iri dengan Mbak Vanila, dia bisa sabar melihat Mas Veron yang sudah berstatus sebagai suaminya itu akrab dengan teman-teman perempuannya.

Karena aku nggak bisa sama seperti Mbak Vanila, dan kamu nggak sama seperti Mas Veron. Mas Veron adalah sosok yang setia, dia mencintai mbak Vanila sejak Mbak Vanila berusia tujuh tahun. Menikahi Mbak Vanila ketika berusia delapan belas tahun. Aku sendiri posesif dan pencemburu, sampai-sampai kamu meninggalkanku dengan alasan nggak suka dikekang.

Sebenarnya, aku tidak bermaksud mengekang. Aku hanya tak suka dibuat cemburu ketika kamu jalan bareng, makan siang bareng, bahkan potong rambut dengan mantan kekasihmu. Memangnya, harus mantan banget? Kamu punya aku—setidaknya teman laki-lakimu jika kamu malu jalan dengan aku. Namanya Cantik, tetapi buruk rupa.

    Sayangnya, sikapku terlanjur kamu salah artikan. Bukan menjauhinya, kamu justru semakin gencar mendekatinya--menghancurkanku. Kamu membela dia hingga titik darah penghabisan. Bahkan kamu meninggalkanku untuk dia.

Banyak pertanyaan yang bersarang di kepalaku, tetapi tak ada satu jawaban yang mampu kamu jawab. Kamu hanya mengalihkan pembicaraan, marah karena aku lebih percaya akan omong kosong mereka, padahal di sini, tutur manismulah yang perlu kuragukan.

“Cantik.”

“Cantik!”

“Eh—gimana, Mas?”

“Ngelamun lagi.”

Aku nyengir, menyalakan laptop yang kubawa untuk menganalisis laporan presentasi yang harus Mas Veron bawa nanti. Padahal tadinya, aku sudah mengagendakan untuk membuat surat undangan yang harus Perusahaan Alexander kirim ke Dalton Corp. Mas Veron bilang, Roma Dalton—CEO dari perusahaan itu cerdas, Mas Veron ingin melakukan study banding agar perusahaan Alexander mampu mengimbangi dengan perkembangan yang stabil.

RomantikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang