part 2

101 5 0
                                    

Hanya satu suara yang ku dengar, tidak suara yang lain. Aku hanya patuh pada satu suara itu saja. Suara yang sudah ku kenal sebelum aku terlahir ke dunia. Dia katakan “Lari… Lari… jangan berhenti terus lari… Selamatkan diri mu”. Tak perduli siapa yang mengejarku. Tidak perduli apa yang ada dihadapan ku. aku hanya patuhi suara itu.

***

Di depan ruangan terjadi keributan. Gaduh. Ada yang teriak “Aaa…”, ada yang mengaduh sakit, aku yakin mereka sedang berkelahi. Bahkan aku mendengar letusan peluru yang keluar dari senapan api. Setelah itu hening. Aku takut dengan apa yang terjadi, tak ada siapa pun yang bisa membantu ku. Ketika pintu dibuka dengan paksa, dua orang masuk dan langsung menyekap ku. Sadar ku sudah kembali, aku dalam benda yang berjalan entah kemana. Disamping ku ada Ibu yang hanya terdiam. Wajahnya lelah dan tertekan. ‘Apa yang orang-orang ini lakukan pada Ibu ku ?’ ucap ku dalam hati. Ingin ku melawan dan membalas perilaku mereka, tapi aku tak bisa.

Malam belum berganti. Mobil berhenti di gang yang sepi, terlihat kumuh, gelap dan lembab. Ujungnya tidak terlihat karna terputus oleh cahaya yang tidak menyinarinya. Pintu mobil dibuka, kami dibentak untuk turun dengan tangan terikat ke depan. Acungan sebuah pistol menjadi lem perekat mulut kami, terpaksa kami menurut perintah mereka. Satu orang didepan, dua orang ada diantara Ibu, aku dan seseorang dibelakang ku. Mereka berseragam serupa seperti mafia di dalam film-film. 

Kami berjalan menelusuri gang, tidak ada orang. Aku sudah membayangkan hal aneh yang terjadi. Apa ini adalah akhir hidup ku ? Mungkin esok atau beberapa hari ke depan wajah ku sudah terpampang di Koran sebagai cucu penguhasa yang tewas ditangan pembunuh.

Ku perhatikan beberapa kali Ibu berusaha menoleh ke arah ku, namun dihentikan oleh orang yang mengapitnya. Secara tiba-tiba Ibu menyerang orang yang ada dihadapannya hingga jatuh. Ibu berlari membuat kedua orang yang mengapitnya kaget dan mengejar. Orang yang ada dibelakang ku reflek mengejar Ibu yang terus lari. Sementara aku terdiam bingung ingin melakukan apa, aku ingin lari tapi bagaimana dengan Ibu. Jika aku diam saja, tentu sia-sia saja usaha Ibu.

“LARI… LARI Sonya…” tak ku lihat lagi Ibu hanya suara kerasnya yang terdengar.

Patuhi perintah, segera ku berbalik dan berlari dengan tangan masih terikat ke depan. Tak perduli siapa yang mengejarku. Tidak perduli apa yang ada dihadapan ku. aku hanya patuhi suara itu.

“Lari… Lari… jangan berhenti terus lari… Selamatkan diri mu”

“Berhenti Sonya…. Tidak,” suara lelaki yang berusaha menghentikan ku, tapi langkah ini sudah mantap untuk berlari.

Nafas sudah terengah-engah, kaki pegal tak masalah, tak lagi menoleh-noleh kebelakang, pandangan ku menyebar mencari jalan yang ramai, mencari pertolongan untuk menyelamatkan aku dan Ibu ku. 

“Aaaah…”, motor pengantar makanan cepat saji tiba-tiba saja muncul di ujung gang. Sang pengendara berhenti dan memarahi ku yang katanya tidak memiliki mata. Tapi maaf, aku tidak sempat untuk berhenti. Aku harus berlari menuju tempat ramai.

Di depan mata jalan raya terbentang. Mobil, motor dan kendaraan lainnya terlihat mundar-mandir diantara gang sempit yang bisa ku lihat.

“BERHENTI”.

Oh tidak, suara itu terdengar sangat dekat. Ku berlari secepat mungkin. Terpaksa menyebrang sembarang. Pikiran ini memang sedang tidak sehat, padahal aku bisa saja mati ditabrak, bukan mati ditembak oleh orang-orang yang mengerjarku. Setelah berada disisi lain jalan aku bisa melihat mereka dari kejauhan. Tidak mungkin tersusul, pikir ku. Ada perasaan lega ketika aku bisa berbaur dengan orang-orang yang berada di jalan raya. Setidaknya jika orang yang mengejar ku muncul, aku bisa teriak minta tolong.

Dengan keadaan tangan terikat jelas pemandangan aneh buat mereka. Belum lagi peluh yang mengucur dan rambut acak-acakan, membuat risih dengan diri ku sendiri. Semoga ini segera berakhir.

Telpon umum adalah harapan ku selanjutnya, karena aku tidak tau dimana aku berada. Tapi bagaimana cara menelponnya, aku tidak bawa uang. Dengan meminta belas kasih orang yang ada didekat telpon umum. Aku mendapatkan beberapa koin dan juga tangan yang tidak lagi terikat. Tombol-tombol ditekan membuat kombinasi nomor Ayah. Cukup lama menunggu hingga panggilan tunggu berakhir.

“Hallo”

“Ayah. Ini Anya,” ternyata Ayah sangat khawatir dan mencari aku serta ibu.

“Kamu dimana nak ? ayah khawatir. Dimana Ibu mu ? ayah ingin bicara,”

“Ayah, tolong Anya, jemput Anya. Anya tidak tau ini dimana ?”

“Mana Ibu, Anya ?”

“Ibu masih dengan penculik”

“Jelaskan posisi mu, nak. Ayah akan segera jemput,”

Ku jelaskan posisi ku berada dengan menceritakan apa yang ada disekitar ku. Hal ini yang menyadarkan ku, sejak tadi aku hanya focus berlari dan mencari keramaian. Aku tidak ingat dimana aku dibawa oleh penculik tadi. Jika aku ingat mungkin Ibu cepat ditemukan. Sesal memenuhi pikiran, air mata menjadi teman atas kebodohan diri ini.

Tak lama sebuah mobil berhenti, 2 orang turun dari sana. Seorang pria dan wanita. Salah satu dari mereka mengeluarkan tanda pengenal berbentuk lencana.

“Kami dari kepolisian, kami menjemput Anda berdasarkan laporan dari ayah anda”

Aku tidak mau langsung percaya, mungkin saja mereka adalah komplotan dari orang-orang yang mengejar ku.

“Mana Ayah ?”

“Ayah anda dalam perjalanan menuju kantor polisi..” belum selesai polisi menjelaskan, mobil Paman Roger sudah berhenti dibelakang mobil sedang hitam milik dua polisi ini. Ku menghambur memeluk Paman Roger, setidaknya masih ada orang yang ku kenal dan akan melindungi ku.

“Ikut dengan mobil polisi. Lebih aman. Paman akan mengikuti dari belakang”

Aku mengangguk patuh.

***

Ku merasa kaki ini tidak menapak di tanah, sangat ringan tapi sedang tidak digunakan untuk melangkah. Dada ku melekat pada bidang tak ku kenal, tubuh ini nyaman tapi hati ku resah. Perlahan mata terbuka dan pandangan pun mulai jelas.

“Paman, ini dimana ? aku mau pulang,” rengek ku pada Paman Roger. Aku butuh tempat yang nyaman. Aku lelah, aku ingin kamar ku, aku ingin melihat Ibu.

Paman menggendong ku menuju sebuah ruangan dipintunya tertulis ‘RUANG INTROGASI’. “Tidak, kamu sebaiknya tetap disini. Untuk menemukan Ibu mu.”

Di dalam Ruang Intrograsi tidak banyak furniture. Hanya ada sebuah sofa besar, cermin yang lebar, sebuah meja serta 4 bangku di dua sisinya.

“Ayah dimana ?”

“Ayah mu sedang diperiksa, untuk menemukan Ibu Mu,”

“Paman aku harus bercerita apa pada polisi.”

“Jawab apa yang mereka tanyakan. Itu saja.”

Aku mengangguk paham. Nasib Ibu, tergantung jadi penjelasan dan keterangan ku. 

sekarang dan 2 jam laluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang