"Hahaha, ekspresi kalian benar-benar lucu. Perutku sampai sakit." Giselle memegangi perutnya sambil berguling-guling. Bahkan, air mata sampai menetes karena terlalu banyak tertawa. "Pemuda gila di sampingku ini memang suka bercanda. Jangan hiraukan dia."
Garnet dan Hanna hanya bisa melongo. Tingkah dua orang di hadapan mereka benar-benar aneh. "Nona ... pasti sudah memberi tahu nama kami, 'kan?"
Garnet mengangguk kecil. Tiba-tiba Hanna terjungkal ke lantai. "Kau kenapa?"
"Se-senyum ... kau tersenyum!"
"Hah? Mana?" Hanna menunjuk wajah Garnet. Giselle tak mampu melihatnya. Bahkan, saat dia memakai kacamata pun tetap tidak nampak. "Kau bercanda, ya?"
"Tidak. Coba kau perhatikan, bibirnya bergerak 0,001%."
Giselle kembali mengamati, dia mengernyitkan dahinya heran. Ekspresi tertawa atau pun datar Garnet tak ada bedanya.
"Matamu benar-benar teliti." Gadis 23 tahun itu menyerah. Dia lebih memilih mengambil barang bawaan Hanna dan Garnet. "Ayo kita beres-beres."
Sepersekian detik kemudian dua pria yang sedari tadi terdiam menghilang. Tak ada jejak. Seperti hantu saja.
"Dasar pemalas."
Kedua gadis 'rajin' itu mulai membersihkan kamar. Pekerjaan mereka bagi sedemikian rupa agar saat kembali para pemuda memiliki bagian untuk dirapikan.
***
"Kenapa kita ke sini?"
Tanpa aba-aba Zander langsung menyerang pemuda di hadapannya. Beruntung Garnet dapat mengelak. Bekerja sebagai kuli sepertinya cukup menguntungkan.
Zander kembali menyerang. Kali ini dia meninju perut Garnet. Darah segar mengucur dari mulut pemuda 23 tahun itu. "Apa yang kau lakukan?"
"Lemah." Zander menatap Garnet dengan pandangan meremehkan. Diangkatnya kerah pemuda di hadapannya tinggi-tinggi. "Apa yang membuat Pak Tua itu memasukkanmu ke sini? Semut bahkan jauh lebih kuat dibandingkanmu."
"Kakek Tua Bodoh."
Garnet terpaku. Setelah dipikir ulang perkataan Zander ada benarnya. Di cerita fantasy lain, biasanya tokoh yang kuatlah yang berhak masuk akademi. Seandainya pun lemah, orang itu pasti punya kekuatan terpendam. Sedangkan dirinya? Hanya pemuda biasa. Tak ada istimewa-istimewanya.
Pemuda dengan surai blonde itu mulai menyerang lagi. Namun, sebuah tangan besar menghentikan. "Tuan Graylock, lagi-lagi kau berulah."
"Lebih baik kau ke kantin sekarang. Nona Stoutfish dan Nona Wolf sedang berkonspirasi dengan pisaumu." Air wajah Zander langsung menegang. Kakinya melesat cepat menuju 'tempat eksekusi', semoga 'Rnye' baik-baik saja. "Dan kau Tuan Greslnove, aku ingin bicara sebentar denganmu."
"Perkataan Tuan Graylock tadi tak perlu kau pikirkan. Dia memang suka bercanda."
Sesuka itu kah Zander bercanda? Bersenda gurau memang bagus, Garnet tak bisa menyangkalnya. Namun, haruskah dengan menjatuhkan harga diri orang lain?
"Tuan Ethirion selalu berpikir out of the box, semua orang tahu itu. Beliau tak mungkin salah pilih."
"Contohnya?"
"Bayangkan di depan kita ada orang yang kelihatannya baik. Tapi, tiba-tiba dia menyerang. Apa yang akan kau lakukan?"
Garnet terdiam sebentar. "Melapor Keepers. Lalu memberi tahu ke semua orang agar mereka ikut waspada."
Pria bermanik emerald itu menjentikkan jarinya. Dia menatap mata Garnet lekat. "Tuan Ethirion memang melapor ke Keepers, tapi beliau tidak memberi tahu masyarakat, melainkan menyuruh orang-orangnya mengawasi penjahat."
Garnet membulatkan matanya tercengang. Sepertinya Tuan Ethirion kehabisan cara untuk menghabiskan uangnya.
"Ajaib, 'kan? Jangan ragukan pilihan Tuan Ethirion. Beliau tidak pernah salah."
***
"Nona-Nona, apa yang kalian lakukan pada pisauku?!"
Giselle dan Hanna tak mengindahkan amarah pemuda bermanik coklat itu. Mereka malah sibuk menyiapkan menu makan malam. "Hei!"
"Maaf, nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi."
"Sorry, the number you called was busy. Please try again later."
Zander mulai emosi, dia merebut paksa Rnye dari Hanna. Sepersekian detik kemudian benda itu beralih ke tangan sang pemuda. "Giselle, body impact hanya melindungi tubuhnya, 'kan?"
Si empunya nama mengangguk, membiarkan sang kekasih memelototinya garang. Tak lama kemudian tinju Hanna melayang. Sangat cepat hingga Zander tak mampu mengelak.
"A-apa-apaan kau?!"
"Hanya bersenang-senang. Kembalikan pisaunya."
"Tak mau." Zander kekeuh mempertahankan pisaunya. Dua gadis di hadapannya tersenyum manis. Mereka memasangi pemuda bermanik coklat itu peralatan 'tempur'. Tatapannya seolah berarti, 'Kenapa?'
"Tidakk mau kembalikan, 'kan? Kalau begitu kau saja yang masak. Bibi Eri sakit." Mereka meninggalkan Zander seorang diri. Membiarkan pemuda itu menatap linglung alat-alat masak.
***
"Giselle, kau kekasih Graylock, 'kan?" Si empunya nama mengangguk. Hanna terdiam, ekspresinya mendadak kecut.
"Kenapa?"
"Tidak. Kira-kira aman tidak membiarkannya masak sendiri?" Giselle ikut memucat. Kenapa dia baru tersadar sekarang?
"Berdoalah semoga perutmu kuat."
Mereka mulai berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Mulut kedua dara cantik itu koma-kamit tidak jelas. Entah doa apa yang mereka rapalkan.
"Oh iya, si Kornet itu pacarmu?"
Hanna mengernyitkan dahinya tak paham, sepersekian detik kemudian dia tersadar. "Maksudmu Garnet?"
"Mungkin. Namanya tak penting."
Gadis bersurai sepinggang itu meringis pelan. Nama sekeren Garnet berubah menjadi Kornet? Plesetan Giselle sungguh mengkhawatirkan.
"Anggap saja begitu." Hanna mulai meregangkan tubuhnya disusul dengan Giselle, tak lama kemudian mereka terbuai indahnya alam mimpi.
Bersambung》
Yoo, gimana kabar kalian?
Maaf atas ke terlambatannya '-')
Next , CH 7 (Ada di Tanabata-Hime) Silahkan mampir
-NieR2B
KAMU SEDANG MEMBACA
LAST LIFE [On-Hold]
FantasyGarnet Greslnove, namanya. Pemuda malang, yang hidupnya sangat menyedihkan. Dia harus menghadapi fakta terburuk, bahwa ketika dirinya membuka kedua matanya, ia sudah berada di dalam dunia yang misterius. Lebih buruknya lagi, tuhan mempertemukannya d...