Closer

9.1K 1K 130
                                    

The Day - keberangkatan ke Jeju

Haechan menatap ponselnya setiap menit. Sebentar lagi check in penumpang menuju Jeju akan di tutup, tapi Mark sama sekali belum muncul. Haechan sudah berulang kali mengiriminya pesan bahkan men-deal nomor pemuda itu, namun nihil. Tidak ada respon.

"10 menit lagi dan kami akan benar-benar terlambat." Haechan menggerutu.

Haechan mencoba menghubungi Mark sekali lagi dan hasilnya tetap sama.

"Duh, kemana sih Mark Lee itu. Harusnya dia mengangkat telfon ku atau setidaknya membalas pesan yang ku kirimkan. Haish."

Haechan mendumel, menggerutu. Dia sangat kesal dengan Mark.

Sebenarnya bisa saja Haechan check in terlebih dulu dan menunggu di gate keberangkatan, tapi ia tidak mau. Haechan tidak suka sendirian di dalam sana. Padahal sekarang pun dia sendiri.

"Apa gunanya memberiku nomor ponselnya jika tidak bisa diHubungi seperti ini." Haechan masih kesal dan juga cemas, panik.

Sementara itu, dari arah lobi Mark yang dengan mudahnya menemukan Haechan segera berlari ketika informasi keberangkatan pesawat mereka terdengar.

"Haechan."

Mendengar namanya dipanggil, Haechan berbalik.

"Ayo cepat, tidak ada waktu lagi." Seru Haechan seraya berlari kecil ke arah petugas checking. Dengan buru-buru Haechan menyerahkan tiket dan KTP.

Di belakang Haechan, lelaki yang terlambat tadi melakukan hal yang sama. Setelah keduanya selesai, mereka segera berlari menuju gate keberangkatan yang tertera di boarding.

Sesampainya di ruang tunggu, para penumpang sudah mengantri untuk memasuki pesawat. Melihat itu Mark dan Haechan tidak memiliki pilihan lainselain ikut berbaris sembari petugas mengecek kembali kelengkapan penerbangan mereka.

Nafas Mark dan Haechan menderu dengan kuatnya. Haechan bahkan sudah menopang kedua luturnya. Dia begitu kelelahan. Ingin rasanya selonjoran atau kalau bisa berbaring sekalian.

Tanpa berbicara apapun dan hanya saling melihat, kedua pemuda perwakilan sekolahnya tersebut memasuki pesawat. Setelah mendapatkan kursi dan memasukkan bawaan mereka ke kabin, Haechan langsung bernafas lega.

Dada Haechan naik turun dengan begitu cepat, penanda jantung dan paru-parunya bekerja lebih berat dari biasanya. Sementara Mark terlihat lebih tenang dalam mengatur pergerakan dadanya.

"Maafkan aku." Ujar Mark membuka ruang obrolan diantara mereka.

Haechan hanya menggumam, terlalu lelah untuk menjawab.

"Ada sesuatu yang terjadi di kantor cabang pagi ini, sementara ayah dan kakakku sedang berada di luar negeri. Terpaksa aku harus ke sana dulu dan menyelesaikannya." Mark menjelaskan tanpa diminta oleh Haechan.

Haechan menarik pelan nafasnya, "Jadi sudah selesai?" Tanyanya sembari menolehkan wajahnya ke arah Mark.

"70%, sisanya bisa ku serahkan kepada direksi kantor."

Haechan mengangguk mengerti. "Tapi setidaknya kau harus membalas pesanku, Mark." Seru Haechan.

Mark memiringkan kepalanya tertarik dengan kelanjutan ucapan si pemuda manis di sebelahnya.

"Aku menunggumu begitu lama. Setidaknya jangan bikin aku cemas." Suara Haechan mengecil di akhir, namun masih tertangkap pendengaran Mark.

Seulas senyum tertera di bibir tipis Mark.

"Tidak akan ada yang kedua kalinya." Jawabnya dengan masih tersenyum.

Haechan menoleh kembali menghadap Mark. Semburat merah mewarnai pipinya. Tapi itu hanya berlangsung sekejap sebelum ia mengalihkan pandangan ke luar jendela pesawat.

My PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang