aku: 2

50 4 1
                                    

Bulan bersinar begitu terang, sungguh indah bentuk bulat sempurnanya. Bintang-bintang bertaburan menghiasi langit pekat di malam sabtu itu. Sungguh, aku berterimakasih atas kebaikan ilahi ditengah guncangan yang terus berlanjut itu. Jika tak demikian, sudah tentu ku takkan bisa melihat dalam malam tanpa lampu.

Kami sekomplek memutuskan tidur bersama di jalan depan rumah. Secara, pemukiman kami masih sangat layak huni. Kebanyakan hanya pagar yang runtuh, perumahan tetap kokoh, mungkin karena rumah pakainya bata merah kalo pagar pakai batako.

Hanya saja guncangan yang terus-menerus membuat kami parno bila terkena rumah ambruk. Antisipasi lah... Kalau bisa diusahakan hidup, kenapa harus pasrah? Kalau cuman pasrah menunggu ajal namanya bukan tawakkal, tapi mati konyol yang terhaqiqi beibi...

Aku  bersyukur karena adik lelaki dan abiku selamat sepulang masjid, mereka hanya nyengir malah saat pulang. Lalu saat abi sadar satu personil kurang, barulah wajahnya panik. Segera abiku menelfon saudariku, dijah, yang sedang bazar di cafe dekat PGM. Sekali-dua kali operator yang menyahut, lalu signal tinggal sepotong dan sempat hilang, abi tak menyerah, tetap beliau berusaha menelefon hingga suara adikku menangis terdengar.

Selagi abiku menjemput tuan putri yang katanya kakinya terinjak ban mobil. Aku dan umi, bersama my beloved tetangga, mengaji berjamaah menggunakan qur'an di hape.

Aku sholat isya dalam rumah.
Dan yes, saat aku sujud rasanya napasku di kerongkongan ketika bumi kembali berguncang. Bayangkanlah engkau sholat dirumah yang segelap gua, di ruang tamu dengan tiang plafon yang dikhawatirkan menimpa kepalamu dan sholatmu baru dua rakaat.

Harapku, semoga sholatku yang setengah khusyuk itu diterima.

Jam sembilanan, adik dan abi datang. Aku yang berbaring di jalan dengan beralaskan karpet, bangun oleh silaunya lampu motor dari kejauhan.

Adikku berjalan terseok-seok. Ia kepayahan untuk duduk.

"kau kenapa?" tanya umiku.

"kakiku terinjak mobil. Waktu itu temanku minta diantar ke rumahnya, mau ambil kupon yang tertinggal, pas kami di perempatan mau ke patung kuda, motor oleng, saya fikir karena temanku berat terus kakiku kena ban mobil. Waktu kami tau itu gempa, dan orang-orang balik arah, kami mengikut" ceritanya panjang lebar.

Dijah waktu itu belum sadar orang-orang balik arah karena tsunami.

Ku fikir juga begitu. Lillahi ta'ala, saya tak sampai kesana memikirkan bahwa palu akan jadi bencana terbesar nomor satu di dunia.
Ku kira semua sama, hanya mengalami guncangan.

Hingga dua hari kemudian, nenekku datang dengan radit, sepupuku yang masih lima tahunan.

Nenekku mengabarkan bahwa balaroa telah habis bersama nenek ince.

Perasaanku tak karuan. Aku drop. Aku jadi ingat kemarin hampir kesana.

Hidup tak ada yang tahu akan berakhir seperti apa.

Balaroa bukan satu-satunya kabar buruk, ketika kabar petobo dan sigi datang dari para pengungsi yang mengungsi di tinggede.

Aku menangis pun rasanya tak bisa menutupi dukaku. Aku kehilangan teman sekolah, keluarga dan kenalan.

Setidaknya ada angin sejuk saat mendengar bahwa anak-anak pmr di paneki selamat semua.

Tbc

😊moodku udah bagus

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 13, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KAMI, DALAM LEMBAH PALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang